Senin, 03 November 2014

Penerapan dan Pelanggaran Hukum di Indonesia



Penegakan hukum di suatu negara sangatlah penting, karena sangat pentingnya hukum di suatu negara akan menciptakan masyarakat yang kondusif dan tenang bagi warganya dan sekaligus warga akan sangat menghormati hukum itu sendiri. Indonesia sendiri adalah negara hukum. Hal ini tertuang jelas dalam Pasal 1 ayat  (3) UUD 1945 Perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.(UUD 1945) Sebagai konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga UUD 1945, 3 (tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu supremasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Di Indonesia belum tercipta tiga prinsip dasar tersebut yang sesuai harapan dengan terciptanya keadilan. Idealnya keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Akan tetapi dalam kenyataannya, selama ini yang berkuasa dan yang mempunyai uang banyaklah yang selalu dimenangkan oleh hukum, walaupun telah melanggar aturan negara seperti pejabat yang korupsi uang milyaran milik negara dapat berkeliaran dengan bebas, sedangkan orang biasa bahkan orang yang terhimpit ekonomi yang terpaksa mengambil sebuah semangka di sawah milik tetangganya, langsung ditangkap dan dimasukkan ke penjara.
Sejak keberhasilan gerakan reformasi melanda bangsa Indonesia, sebutan “supremasi hukum” menjadi kata yang sering diucapkan dan didengar. Istilah ini akan menjadi objek kajian yang menarik dan tidak ada habis-habisnya untuk dibahas. Hal ini disebabkan karena masalah supremasi hukum adalah bukti nyata proses penegakan hukum suatu bangsa. Hukum sebagai aturan, norma, dan kaidah akan selalu mempunyai posisi khas, ia langsung berada dan bekerja di tengah-tengah masyarakat. Keberagaman cita rasa masyarakat yang terkemas dalam budaya tradisional dan modern akan menyatu dalam suatu dimensi hukum.
 Bertitik tolak dari pemikiran seperti itu, maka kebutuhan mendesak yang perlu diperhatikan oleh bangsa Indonesia adalah merumuskan kembali sikap menjunjung tinggi “supremasi hukum”, yang baik dan benar di tengah masyarakat yang plural ini. Agar tercipta masyarakat yang madani dan penuh keadilan di segala aspek kehidupan berbangsa.



Indonesia dikenal sebagai negara hukum, namun kebanyakan dari warga Negara Indonesia  belum mematuhi  hukum-hukum yang berlaku di Indonesia.  Dalam hal ini berarti tujuan hukum yang sebenarnya belum terwujud. Selama ini supremasi hukum merupakan agenda utama setiap pemerintahan, tetapi sampai saat ini impian untuk menegakkan keadilan di bidang hukum belum juga terwujud. Padahal hukum itu adalah kekuatan yang menentukan kehidupan, bukan ditentukan atau dapat diatur sesuai keinginan individu yang berkuasa.
A.      Pengertian Supremasi Hukum
         Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh mengabaikan 3 ide dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
        Untuk lebih memahami tentang supremasi hukum, ada baiknya perlu diketahui pengertian hukum. Di bawah ini ada beberapa pengertian hukum yang dikemukakan oleh para ahli:
  1. Utrecht memberikan batasan hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati.
  2. Prof. Mr. E. M. Meyers menyatakan hukum sebagai semua peraturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
  3. Leon Duguit menyatakan hukum sebagai aturan tingkah laku para anggota masyarakat yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar meninggalkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
  4. S. M. Amin, SH menyatakan bahwa kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi itulah yang disebut hukum dan tujuan hukum tersebut adalah menegakkan tata tertib dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.                        (Joko Budi Santoso; 2007: 23)
          Dengan mengetahui beberapa pengertian hukum di atas, maka akan lebih mudah dalam memahami supremasi hukum (khususnya di Indonesia). Pengertian supremasi hukum sendiri adalah upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Hal ini juga termuat dalam UUD ’45 pasal 27 ayat 1, yang berbunyi ”segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajid menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.(UUD 1945)
          Upaya penegakan hukum ada kaitannya dengan tercapainya supremasi hukum. Penegakan hukum yang dapat dilakukan dengan baik dan efektif merupakan salah satu tolak ukur untuk keberhasilan suatu negara dalam upaya mengangkat harkat dan martabat bangsanya di bidang hukum terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap warganya. Sebaliknya pengakan hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya merupakan indikator bahwa negara yang bersangkutan belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan hukum kepada warganya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam sistem hukum dan faktor-faktor di luar sistem hukum.   (Joko Budi, 2007: 32)

B.  Supremasi Hukum di Era ORBA dan Reformasi
Supremasi hukum merupakan suatu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan yang sama tanpa terkecuali. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada era Orde Baru atau pada suatu era dimana rezim Soeharto berkuasa. Pada masa ini seseorang bisa kebal dari hukum apabila mempunyai kekuasaan dan uang. Tuduhan ini bukan tanpa bukti, banyak kasus-kasus pelanggaran hukum serius yang lambat penanganannya karena tersangka utamanya merupakan para penguasa rezim ORBA. Kasus-kasus itu, antara lain;
1.      Kasus kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965-1966.
2.      Kasus penyerangan kantor DPP PDI 27 Juli 1996.
3.      Kasus penjarahan toko-toko milik warga Tionghoa.
4.      Kasus korupsi Jamsostek.
Hal yang sama juga terjadi pada era Reformasi, masa yang seharusnya segalam sesuatu yang buruk telah diperbaiki. Namun, pada kenyataannya untuk keadilan di bidang hukum belum juga tercipta. Salah satunya adalah Amandemen Kedua UUD’45 Pasal 28I ayat (1) : “Bahwasanya seseorang tidak dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.” Dari sedikit petikan bunyi pasal tersebut, dalam ilmu hukum dinamakan prinsip hukum non-retroaktif. Prinsip tersebut bersumber dari asas legalitas von Feuerbach :”tidak ada tindak pidana, tanpa adanya peraturan yang mengancam pidana lebih dulu.” Seperti yang tercantum dalam pasal 1 KUHP kita. Masalah yang muncul apakah prinsip tersebut juga berlaku untuk kejahatan berat? Sebab dalam pasal tersebut tidak membedakan tindak pidana biasa dengan tindak kejahatan kemanusiaan seperti tindak pelanggaran HAM berat. Merujuk pada penjelasan RUU Pengadilan HAM bahwa pelanggaran HAM berat bukan merupakan pelanggaran terhadap KUHP. Sehingga prinsip non-retroaktif perundang-undangan tidak berlaku pada kejahatan kemanusiaan. Meskipun dalam RUU Pengadilan HAM pasal 37 memberlakukan retroaktif perundangan-undangan terhadap kejahatan kemanusiaan, tetap saja RUU tersebut akan gugur karena bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1). Karena sistem hierarki di Indonesia tidak membolehkan hukum yang lebih rendah tingkatannya bertentangan dengan yang lebih tinggi.  
Akan tetapi, pada era ini juga sudah banyak pejabat yang disidangkan karena kasus korupsi, walaupun mereka benar-benar bersalah hanya beberapa saja yang masuk penjara. Ternyata hal ini terjadi penyebabnya tidak lain adalah mau disuapnya aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan.
Dari fakta-fakta yang terungkap di atas menunjukan bahwa supremasi hukum pada era Orba sampai era Reformasi belum terwujud. Hal ini terjadi karena sumber hukum dan aparat penegak hukum belum siap mewujudkan keadilan di bidang hukum.

C. Hubungan Antara Supremasi Hukum, Demokrasi dan  HAM
Supremasi hukum telah mati seiring dengan berjalannya sistem demokrasi di Indonesia. Hal yang paling mendasari adalah besarnya pergesekan kekuatan kepentingan kekuasaan dari beberapa titik pemegang kekuasaan negara. Dalam pelaksanaan demokrasi sangat diperlukan adanya supremasi hukum yaitu menjunjung tinggi peraturan–peraturan yang berlaku untuk mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat demi terciptanya kesadaran hukum dan kepatuhan hukum. Selain dari pada itu juga diperlukan sistem pemerintahan yang demokrasi yaitu sistem pemerintahan yang mengutamakan kepentingan rakyat yaitu adanya asas dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Terakhir adalah HAM (Hak Asasi Manusia), hal ini sangat penting terhadap pelaksanaan supremasi hukum karena berkaitan dengan hak dasar manusia sebagai mahluk Tuhan. Demikianlah hal–hal yang patut diperhatikan dalam pelaksanaan supremasi hukum di Indonesia karena sangat sesuai dan patut pula diperhatikan dalam skala nasional yang bertitik tolak dari UUD 1945 baik Pembukaan, pasal-pasal beserta penjelasannya.
Hubungan antara negara hukum dan demokrasi dapat dinyatakan bahwa negara demokrasi pada dasarnya adalah negara hukum. Namun, negara hukum belum tentu negara demokrasi. Negara hukum hanyalah satu ciri dari negara demokrasi. Demokrasi baik sebagai bentuk pemerintahan maupun suatu sistem politik berjalan di atas dan tunduk pada koridor hukum yang disepakati bersama sebagai aturan main demokrasi. Adapun demokrasi sebagai sikap hidup ditunjukkan dengan adanya perilaku yang taat pada aturan main yang telah disepakati bersama pula. Aturan main itu umumnya dituangkan dalam bentuk norma hukum. Dengan demikian di negara demokrasi, hukum menjadi sangat dibutuhkan sebagi aturan dan prosedur demokrasi. Tanpa aturan hukum, kebebasan dan kompetisi sebagai ciri demokrasi akan liar tidak terkendali. Jadi, negara demokrasi sangat membutuhkan hukum. (Winarno, 2007: 128)
Hubungan antara demokrasi dan hukum sangat erat, dapat dikatakan bahwa kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya. Artinya negara-negara yang demokratis akan melahirkan pula hukum-hukum yang berwatak demokratis, sedangkan di negara-negara yang otoriter aatau non demokratis akan lahir hukum-hukum yang non demokratis.  (Moh.Mahfud, 1999: 53)
Dewasa ini kehidupan ekonomi jauh lebih baik daripada periode-periode sebelumnya berkat pemerintahan yang kuat dan otoritarian sesuai dengan pilihan yang telah dilakukan secara sadar sebagai pecinta hukum. Lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsif tanpa mengorbankan persatuan dan kesatuan serta kebutuhan ekonomi dapat lahir di dalam konfigurasi politik yang demokratis untuk melahirkan hukum-hukum yang renponsif itu, diperlihatkan demokratisasi di dalam kehidupan politik. Alasan-alasan untuk melakukan demokratisasi ini sudah cukup jika kesadaran politik masyarakat membaik, Pancasila diterima sebagai satu-satunya asas oleh orpol dan ormas, dan kehidupan ekonomi masyarakat dan pertumbuhannya sudah memadai. Dengan modal itu, proses demokratisasi tidak akan mengancam stabilitas apalagi persatuan kesatuan bangsa. (Moh.Mahfud, 1999:84)
             Peranan supremasi hukum, demokrasi, dan HAM terhadap pelaksanaan pemerintahan sangat penting karena supremasi hukum harus ada,  sebab  negara Indonesia adalah negara hukum atau negara yang sangat menjunjung tinggi hukum ini dapat terlihat juga dari sistem demokrasi yang dianut negara kita yaitu Republik Konstitusi, maka pemerintahan juga harus menjunjung tinggi hukum dalam menggunakan wewenangnya. Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan aspirasi rakyat dalam membuat keputusan bagi rakyatnya karena bagaimanapun juga negara kita adalah negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat, jadi keinginan rakyat tidak bisa dikesampingkan begitu saja oleh pemerintah. Oleh karena itu, badan eksekutif dan badan legislatif dalam melaksanakan tugasnya tidak bisa bertindak sewenang–wenang terhadap rakyat yang bisa melanggar atau membatasi HAM dari pada itu rakyat itu sendiri.

D. Menciptakan Supremasi Hukum yang Ideal
           Pada pembahasan sebelumnya perkembangan penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan. Sejak Indonesia merdeka hingga pemerintahan sekarang masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan maupun penyelewengan hukum dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia. Ini berarti bahwa supremasi hukum belum tercipta di Negara Indonesia. Penegakan hukum sangat perlu yaitu untuk diarahkan pada pola pencegahan segala pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat ataupun badan hukum. Bukti-bukti nyata yang terjadi dalam pemerintakan Indonesia, justru pelanggaran hukum banyak dilakukan oleh kalangan atas, seperti kehakiman, kepolisian dan pejabat-pejabat. Kasus-kasus seperti korupsi, penyuapan dan bermacam pelanggaran hukum masih sering terjadi. Artinya, Indonesia adalah negara hukum yang belum sukses mewujudkan supremasi hukum.
           Intregitas kepemimpinan kepolisian, kejaksaan dan mahkamah agung turut pula dipertanyakan, karena sebagai lembaga penegak hukum juga ternyata dominan dengan nuansa politik. Ada kemungkinan niatan yang dilandasi politik akan berujung pada bupaya penegakan hukum, atas produk hukum yang kemudian tak sekedar kertas bertinta emas tapi pengejawantahan kehidupan ketertiban hukum agar terpelihara integritas sosial yang melingkupi masyarakat, pasar dan negara. Bila ini tak terjawab dengan memuaskan, maka akan menimbulkan rasa miris bagi siapapun yang mengetahui kondisi ini. Tetapi semuanya hanya tinggal mimpi untuk menerapkan supremasi hukum di tengah hembusan demokrasi yang didengungkan negara ini, ataukah masih menyisakan harapan bagi terwujudnya negara hukum. (http://persma.com/baca/2009/10/26/matinyasupremasi-hukum-di-tangan-demokrasi.html)
Keberadaan hukum merupakan posisi yang unik dan dapat memberikan dampak bagi lingkungan sekitar, terutama bagi dinamisasi kehidupan masyarakat, antara hukum dengan masyarakat, penjahat dengan pejabat, orang baik-baik, atasan dan bawahan, seharusnya tidak ada tirai pembatas. Oleh karena itu, sifat hukum harus dogmatis dan universal.
Beberapa poin penting untuk bisa mencapai supremasi hukum, bergantung pada bagaimana pelaksanaan hukum itu sendiri. Ada beberapa pendapat tentang tujuan hukum yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk mencapai supremasi hukum yang ideal.
  1. Teori etis, mengatakan bahwa hukum itu semata-mata menghendaki keadilan. Isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
  2. Geny, mengatakan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Sebagai unsur keadilan, ada kepentingan daya guna dan kemanfaatan.(Budiyanto, 2004: 54)
           Beberapa pendapat di atas menyatakan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan keadilan, maka dengan terciptanya keadilan ini maka supremasi hukum dapat terwujud. Namun, dengan banyaknya penyelewengan hukum di Indonesia dapat dikatakan bahwa penerapan keadilan belum terwujud.
          Untuk dapat mencapai keadilan hukum, maka penegakan hukum sangat perlu. Hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh terutama aturan hukum tentang HAM.                   (Sunarso, 2008 : 150)
Dengan adanya praktik politik, maka hal ini juga berpengaruh pada keadaan hukum di Indonesia. Pada konfigurasi politik tertentu melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu, yakni konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif. Karakter responsif maupun konservatif salah satunya ditandai  dalam pembuatan produk hukum yang responsif menyerap aspirasi masyarakat seluas-luasnya (parsitipatif), sedangkan produk hukum yang konservatif lebih didominasi lembaga-lembaga negara terutama pihak eksekutif (sentralistis). (Moh.Mahfud, 1999: 295)
Hukum harus mampu mencerna segala perubahan secara tenang dan baik-baik. Globalisasi, dunia tanpa pembatas, skenario elit politik, suksesi, korupsi, kolusi, nepotisme, supremasi hukum, demokratisasi, HAM, disintergrasi bangsa dan intrik-intrik politik, semuanya harus dihadapi oleh hukum. Hukum harus mampu secara langsung berhadapan dengan perilaku yang muncul tersebut. Sehingga hukum berfungsi sebagai alat kontrol masyarakat dengan segala perundang-undangan yang berlaku dan harus ditaati masyarakat. Dalam menghadapi perubahan perilaku masyarakat, maka hukum harus dengan cepat beradaptasi dalam perubahan tersebut. Jika terjadi keterasingan masyarakat terhadap hukum maka citra terhadap hukum akan menurun, sebagai konsekuensi, maka sangat diperlukan hukum yang selalu mengikuti konsep, orientasi dan masalah-masalah yang setiap saat bisa berubah secara cepat. Dengan kata lain, supremasi hukum jangan dijadikan hanya sebagai simbol dalam suatu pemerintahan. Hukum tidak hanya merupakan unsur tekstual saja, yang dipandang dari kaca mata Undang-undang. Namun, hukum merupakan unsur kontekstual yang dapat dilihat dari perspektif yang lebih luas. Dalam suasana perubahan yang serba cepat ini, perwujudan supremasi hukum akan memenuhi lebih banyak para pelaksana hukum yang mampu bertanggung jawab, berdedikasi dan bermoral serta mempunyai intelektual tinggi yang mampu mengatasi berbagai permasalahan. (http://bataviase.co.id/content/mmbangun-supremasi-hukum)
Hal itulah yang menjadi poin agar supremasi hukum dapat mencapai standar ideal, unsur-unsur penegak hukum yang seperti itulah yang dibutuhkan untuk menghadapi segala permasalahan agar supremasi hukum dapat terwujud dengan cepat.


Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.   Supremasi hukum adalah upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
 2. Keadilan yang netral artinya setiap orang memiliki  kedudukan dan perlakuan   yang sama tanpa terkecuali. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada era Orde Baru. Beberapa kasus-kasus pelanggaran hukum serius yang lambat penanganannya karena tersangka utamanya merupakan para penguasa rezim ORBA. Kasus-kasus itu, antara lain;
a.       Kasus kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965-1966.
b.      Kasus penyerangan kantor DPP PDI 27 Juli 1996.
c.       Kasus penjarahan toko-toko milik warga Tionghoa.
d.      Kasus korupsi Jamsostek.
Hal yang sama juga terjadi pada era Reformasi, masa yang seharusnya segala sesuatu yang buruk telah diperbaiki. Namun, pada kenyataannya untuk keadilan di bidang hukum belum juga tercipta.
3. Hubungan supremasi hukum, demokrasi, dan HAM adalah hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Supremasi hukum dapat tercipta jika hukum dilaksanakan dengan berdasar pada keadilan. Negara yang demokratis akan akan mewujudkan watak hukum yang demokratis. Tanpa aturan hukum, kebebasan dan kompetisi sebagai ciri demokrasi akan liar tidak terkendali. Dengan adanya demokrasi, maka Hak Asasi Manusia pun akan dijunjung sebagai wujud negara demokrasi yang tertib hukum.
4. Untuk mencapai Supremasi yang ideal maka diperlukan penegakan hukum  yaitu diarahkan pada pola pencegahan segala pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat ataupun badan hukum. Guna perwujudan supremasi hukum yang memenuhi lebih banyak para pelaksana hukum yang mampu bertanggung jawab, berdedikasi dan bermoral serta mempunyai intelektual tinggi yang mampu mengatasi berbagai permasalahan.

      Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saya memberikan saran, antara lain:       
1. Menindak secara tegas bagi para pelanggar hukum di semua kalangan, baik yang ada di masyarakat, maupun di kalangan pejabat.
2. Diharapkan seluruh komponen masyarakat di Indonesia dapat memahami arti serta perlunya hukum serta menerapkan hukum yang berlaku sehingga dapat ditegakkannya supremasi hukum yang bertujuan keadilan sosial.
3. Menghindari kasus-kasus penyelewengan hukum, seperti korupsi dan penyuapan di manapun kita berada. 

 Sumber :

Ajat M Fajar. 100 Hari SBY-Boediono, Supremasi Hukum Masih Lemah.

Anang Usman. Supremasi Hukum, Kenyataan yang Sulit Terwujud. dari http://forum.polwiltabessurabaya.net/viewtopic.php
Budiyanto. 2004. Kewarganegaraan untuk SMA kelas X. Jakarta : Erlangga.



Joko Budi Santoso. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMK Kelas X. Jakarta : Yudhistira.

Kusumohamidjojo, Budiono. 1999. Ketertiban yang Adil, Problematik Filsafat Hukum. Jakarta : Grasindo.

Moh. Mahfud. 1999. Pergulatan politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta : Gama    media.

Sunarso, dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan tinggi. Yogyakarta : UNY press.

Winarno. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi. Jakarta : Bumi Aksara.

Tim Redaksi Pustaka Setia. 2010. UUD 1945. Pustaka Setia. Bandung

STRATIFIKASI SOSIAL DI INDONESIA



Menurut pendapat saya stratifikasi social diindonesia akan saya jelaskan dibawah ini secara lengkap dan jelas

PENDAHULUAN STRATIFIKASI SOSIAL

Masyarakat manusia terdiri dari beragam kelompok-kelompok orang yang ciri-ciri pembedanya bisa berupa warna kulit, tinggi badan, jenis kelamin, umur, tempat tinggal, kepercayaan agama atau politik, pendapatan atau pendidikan. Pembedaan ini sering kali dilakukan bahkan mungkin diperlukan.
Semua manusia dilahirkan sama seperti yang selama ini kita tahu, melalui pendapat para orang-orang bijak dan orang tua kita atau bahkan orang terdekat kita. Pendapat demikian ternyata tidak lebih dari omong kosong belaka yang selalu ditanamkan kepada setiap orang entah untuk apa mereka selalu menanamkan hal ini kepada kita.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, kenyataan itu adalah ketidaksamaan. Beberapa pendapat sosiologis  mengatakan dalam semua masyarakat dijumpai ketidaksamaan di berbagai bidang misalnya saja dalam dimensi ekonomi: sebagian anggota masyarakat mempunyai kekayaan yang berlimpah dan kesejahteraan hidupnya terjamin, sedangkan sisanya miskin dan hidup dalam kondisi yang jauh dari sejahtera. Dalam dimensi yang lain misalnya kekuasaan: sebagian orang mempunyai kekuasaan, sedangkan yang lain dikuasai. Suka atau tidak suka inilah realitas masyarakat, setidaknya realitas yang hanya bisa ditangkap oleh panca indera dan kemampuan berpikir manusia. Pembedaan anggota masyarakat ini dalam sosiologi dinamakan startifikasi sosial.
Seringkali dalam pengalaman sehari-hari kita melihat fenomena sosial seperti seseorang yang tadinya mempunyai status tertentu di kemudian hari memperoleh status yang lebih tinggi dari pada status sebelumnya. Hal demikian disebut mobilitas sosial. Sistem Stratifikasi menuruf sifatnya dapat digolongkan menjadi straifikasi terbuka dan stratifikasi tertutup, contoh yang disebutkan diatas tadi merupakan contoh dari stratifikasi terbuka dimana mobilitas sosial dimungkinkan.
Suatu sistem stratifikasi dinamakan tertutup manakala setiap anggota masyarakat tetap pada status yang sama dengan orang tuanya, sedangkan dinamakan terbuka karena setiap anggota masyarakat menduduki status berbeda dengan orang tuanya, bisa lebih tinggi atau lebih rendah.

Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat).

Pengertian
Definisi sistematik antara lain dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.

Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial
Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.

Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.

Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.

Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.

Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.

Tiga Sifat Stratifikasi Sosial
Menurut Soerjono Soekanto, dilihat dari sifatnya pelapisan sosial dibedakan menjadi sistem pelapisan sosial tertutup, sistem pelapisan sosial terbuka, dan sistem pelapisan sosial campuran.

Stratifikasi Sosial Tertutup (Closed Social Stratification)
Stratifikasi ini adalah stratifikasi dimana anggota dari setiap strata sulit mengadakan mobilitas vertikal. Walaupun ada mobilitas tetapi sangat terbatas pada mobilitas horisontal saja. Contoh:

– Sistem kasta.
Kaum Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana.
– Rasialis.
Kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan di posisi kulit putih.
– Feodal.
Kaum buruh tidak bisa pindah ke posisi juragan/majikan.

b. Stratifikasi Sosial Terbuka (Opened Social Stratification)
Stratifikasi ini bersifat dinamis karena mobilitasnya sangat besar. Setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal. Contoh:
– Seorang miskin karena usahanya bisa menjadi kaya, atau sebaliknya.
– Seorang yang tidak/kurang pendidikan akan dapat memperoleh pendidikan asal ada niat dan usaha.

c.Stratifikasi Sosial Campuran
Stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya, seorang Bali berkasta Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah. Maka, ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.
1. Pengaruh Diferensiasi Sosial dan Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat
A. Pengaruh Diferensiasi Sosial
Pada Modul terdahulu Anda telah mempelajari Diferensiasi Sosial. Masih ingatkah Anda perbedaaan antara Kemajemukan Sosial dengan Heterogenitas Sosial? Ada dua hal dalam Diferensiasi Sosial yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat di Indonesia. Mari kita bahas:

* Kemajemukan Sosial :
Pengelompokkan masyarakat secara horisontal yang didasarkan pada adanya perbedaan Ras, Etnis (suku bangsa), klen, agama dsbnya.
Kemajemukan masyarakat Indonesia terbentuk karena beberapa hal seperti:
– Keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari beberapa ribu pulau besar kecil dari barat sampai ke timur yang kemudian tumbuh menjadi satu kesatuan sukubangsa yang melahirkan berbagai ragam budaya.
– Indonesia terletak antara dua titik silang samudra yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Letak strategis ini merupakan daya tarik bagi bangsa-bangsa asing datang dan singgah di wilayah ini sehingga Amalgamasi (perkawinan campur) dan Asimilasi (perbauran budaya) diantara kaum pendatang dan penduduk asli maupun antara kaum pendatang sendiri terjadi. Hal demikian membuat masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai ras, etnis dan sebagainya.
Iklim yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lain menimbulkan perbedaan mata pencaharian penduduknya. Contoh: orang yang tinggal di wilayah pedalaman cenderung bermata pencaharian sebagai petani, sedangkan yang tinggal di wilayah pantai sebagai nelayan/pelaut.
Dapat ditarik kesimpulan dengan adanya Diferensiasi Sosial mempengaruhi terbentuknya anekaragam budaya, misalnya : bahasa, dialek, kesenian, arsitektur, alat-alat budaya, dsbnya.

b. H e t e r o g e n i t a s
Ada dua macam Heterogenitas, yakni:
1) Heterogenitas masyarakat berdasarkan profesi/pekerjaan.
Masyarakat Indonesia yang besar ini penduduknya terdiri dari berbagai profesi seperti pegawai negeri, tentara, pedagang, pegawai swasta, dsbnya. Setiap pekerjaan memerlukan tuntutan profesionalisme agar dpat dikatakan berhasil. Untuk itu diperlukan penguasaan ilmu dan melatih ketrampilan yang berkaitan dengan setiap pekerjaan. Setiap pekerjaan juga memiliki fungsi di masyarakat karena merupakan bagian dari struktur masyarakat itu sendiri. Hubungan antar profesi atau orang yang memiliki profesi yang berbeda hendaknya merupakan hubungan horisontal dan hubungan saling menghargai biarpun berbeda fungsi, tugas, bahkan berbeda penghasilan.

2) Heterogenitas atas dasar jenis kelamin.
Di Indonesia biarpun secara konstitusional tidak terdapat diskriminasi sosial atas dasar jenis kelamin, namun pandangan “gender” masih dianut sebagaian besar masyarakat Indonesia.
Pandangan gender ini dikarenakan faktor kebudayaan dan agama. Apabila kita melihat kemajuan Indoensia sekarang ini, banyak perempuan yang berhasil mengusai Iptek dan memiliki posisi yang strategis dalam masyarakat. Maka sudah selayaknya perbedaan jenis kelamin dikatagorikan secara horisontal, yaitu hubungan kesejajaran yang saling membutuhkan dan saling melengkapi.
Dari kedua macam Heterogenitas tersebut dapat ditarik kesimpulan : melalui Hetrogenitas memunculkan adanya profesionalismeprofesionalisme dalam pekerjaan, keterampilan-keterampilan khusus (skill), spesialisasi-spesialisasi pekerjaan, penyadaran HAM, dsbnya.

B. Pengaruh Stratifikasi Sosial
Selain menimbulkan tumbuhnya pelapisan dalam masyarakat, juga munculnya kelas-kelas sosial atau golongan sosial yang telah kita pelajari pada Modul terdahulu.
Adanya pelapisan sosial dapat pula mengakibatkan atau mempengaruhi tindakan-tindakan warga masyarakat dalam interaksi sosialnya. Pola tindakan individu-individu masyarakat sebagai konsekwensi dari adanya perbedaan status dan peran sosial akan muncul dengan sendirinya.
Pelapisan masyarakat mempengaruhi munculnya life chesser & life stile tertentu dalam masyarakat, yaitu kemudahan hidup dan gaya hidup tersendiri. Misalnya, orang kaya (lapisan atas) akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam hidupnya, jika dibandingkan orang miskin (lapisan bawah); dan orang kaya akan punya gaya hidup tertentu yang berbeda dengan orang miskin.
Contoh pelapisan sosial yang terjadi dalam masyarakat
Gaya hidup masing-masing orang berbeda-beda. Ada orang yang hidup dengan gaya mewah, adapula yang hidup secara sederhana.Pola hidup masyakat tentunya dilatarbelakangi oleh statusnya dalam masyarakat.

Diferensiasi social
merupakan perbedaan seseorang dilihat dari suku bangsa, ras, agama, klan, dsb.
Pada intinya hal-hal yang terdapat dalam diferensiasi itu tidak terdapat tingkatan-tingkatan, namun yang membedakan satu individu dengan individu yang lainnya adalah sesuatu yang biasanya telah ia bawa sejak lahir. contohnya saja, suku sunda dan suku batak memiliki kelebihan masing-masing. jadi seseorang tidak bisa menganggap suku bangsanya lebih baik, karena itu akan menimbulkan etnosentrisme dalam masyarakat. diferensiasi merupakan perbedaan yang dapat kita lihat dan kita rasakan dalam masyarakat, bukan untuk menjadikan kita berbeda tingkat sosialnya seperti yang terjadi di Afrika Selatan.
“The history of all hitherto existing society is the history of class struggles”.
Mobilitas Sosial yang disebut tadi berarti perpindahan status dalam stratifikasi sosial. Banyak sebab yang dapat memungkinkan individu atau kelompok berpindah status, pendidikan dan pekerjaan misalnya adalah salah satu faktor yang mungkin dapat meyebabkan perpindahan status ini. Masih banyak sebab-sebab lain dalam mobilitas sosial ini, namun yang menjadi pertanyaan saya adalah kondisi dan atas dasar apa individu maupun kelompok melakukan perpindahan status ini? Tetapi biarlah pertanyaan ini tetap menjadi pertanyaan.
“ Historically four basic systems of stratification have existed in human societies: slavery, caste, estates and class ” [2]
Stratifikasi sosial digunakan untuk menunjukan ketidaksamaan dalam masyarakat manusia. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa banyak dimensi dalam stratifikasi sosial akan tetapi tidak semua dimensi akan ditulis dalam makalah ini mengingat keterbatasan pengetahuan saya soal hal ini. Namun beberapa stratifikasi yang menurut saya penting akan saya tuliskan. Pertama, perbudakan seperti yang kita tahu pada sistem seperti ini masyarakat di bagi menjadi dua pemilik budak dan budak. Dimana seseorang atau kelompok orang dimiliki sebagai hak milik seseorang. Namun hal ini sudah lama tidak berlaku lagi saat ini. Salah satu penyebab adanyanya budak adalah perang. Dimana pihak yang kalah kemudian dijadikan tawanan kerja paksa.. Kedua, kasta hal ini berhubungan dengan kepercayaan bansa India dimana mereka percaya terhadap reinkarnasi bahwa manusia akan dilahirkan kembali, dan setiap orang wajib menjalani hidupnya sesuai dengan kastanya, dan bagi mereka yang tidak menjalankan kewajiban sesuai kastanya maka dalam kehidupan mendatang akan dilahirkan kembali didalam kasta yang lebih rendah. Setiap orang dalam sistem kasta ini mendapatkan tingkatan kastanya berdasarkan kasta keluarga mereka. Namun yang masih belum jelas disini adalah atas dasar apa dan darimana keluarga mereka mendapatkan kedudukan dalam kasta tersebut? Ketiga, Estates hal ini erat hubungannya dengan sistem Feodal dimana kedudukan seseorang dinilai dari seberapa banyak dia memiliki tanah. Tanah ini merupakan hadiah atau penghargaan untuk para raja-raja bangsawaan atas dukungannya terhadap raja. Keempat, kelas ialah pembagian masyarakat atas dasar kemampuan ekonomi yang tercermin dalam gaya hidupnya.
Perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat sejak jaman perbudakan sampai revolusi industri hingga sekarang secara mendasar dan menyeluruh telah memperlihatakan pembagian kerja dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka diferensiasi sosial yang tidak hanya berarti peningkatan perbedaan status secara horizontal maupun vertical. Hal ini telah menarik para perintis sosiologi awal untuk memperhatikan diferensiasi sosial, yang termasuk juga stratifikasi sosial. Perbedaan yang terlihat di dalam masyarakat ternyata juga memiliki berbagai macam implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Status yang diperoleh kemudian menjadi kunci akses kesegala macam hak-hak istimewa dalam masyarakat yang pada dasarnya hak istimewa tersebut merupakan hasil dari rampasan dan penguasaan secara paksa oleh yang satu terhadap yang lainya, mendominasi dan didominasi, yang pada akhirnya merupakan sumber dari ketidaksamaan di dalam masyarakat. Berbagai macam argumentasi pun diajukan guna menjelaskan ketidaksamaan ini yang kemudian berubah menjadi ketidakadilan.

Kelas dan Stratifikasi
Karl Marx
Seseorang  yang mengguncangkan dunia dengan analisisnya yang tajam dan akurat tentang keadaan manusia di era kapitalisme. Pembedahan atas situasi ekonomi dan politik yang dilakukannya dalam kondisi pelarian politik dan kematian tragis anak-anaknya. Tak ada ungkapan yang tepat selain revolusioner baginya.  Lahir di Jerman pada tanggal 5 mei 1818. Semuanya berawal ketika ia kuliah di di Berlin, dari sini lah seorang pelarian politik di kemudian hari ini memberi inspirasi kepada jutaan umat manusia untuk mengemansipasi dirinya lewat perjuangan kelas akibat ketertindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh para kapitalis.
Seluruh pemikiran Karl Marx berdasarkan bahwa pelaku-pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Salah satu kesulitan dalam teori kelasnya Marx adalah meskipun Marx sering berbicara tentang kelas-kelas sosial, namun ia tidak pernah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan istilah “kelas”. Ada baiknya kita ambil saja salah satu definisi tentang kelas dari seorang marxis sekaligus  pemimpin revolusi Bolshevik 1917 yang termahsyur, Lenin mendefinisikan kelas sebagai berikut:
“Classes are large groups of people differing from each other by the place they occupy in a historically determined system of social production, by their relation (in most cases fixed and formulated in law) to the means of production, by their role in the social organisation of labour, and, consequently, by the dimensions and mode of acquiring the share of social wealth of which they dispose. Classes are groups of people one of which can appropriate the labour of another owing to the different places they occupy in a definite system of social economy“.
Inilah definisi kelas khas kaum marxis. Kelas-kelas sosial pun dibedakan menjadi berdasarkan posisinya dalam produksi,  menurut mereka:
“kriteria fundamental yang membedakan kelas-kelas adalah posisi yang mereka duduki dalam produksi sosial, dan kosekuensinya menentukan relasi mereka terhadap alat-alat produksi”.
Relasi dimana kelas-kelas menempati posisi atas alat produksi menentukan peran mereka dalam organisasi sosial kerja, sebab kelas-kelas memiliki fungsi-fungsi yang berbeda dalam produksi sosial. Dalam masyarakat antagonis beberapa kelas mengatur produksi, mengatur perekonomian dan mengatur seluruh urusan-urusan sosial, misalnya mereka yang memiliki keunggulan dalam kerja mental. Sementara kelas-kelas lainnya menderita di bawah beban kewajiban kerja fisik yang berat. Biasanya, dalam masyarakat yang tebagi atas kelas-kelas, manajemen produksi dijalankan oleh kelas yang memiliki alat produksi. Namun segera setelah beberapa relasi produksi menjadi sebuah halangan bagi perkembangan tenaga-tenaga produktif, kelas-kelas penguasa pun harus mulai memainkan peran yang berbeda dalam organisasi sosial kerja. Ia berangsur-angsur kehilangan signifikansinya sebagai organisator produksi, dan merosot posisisnya menjadi sebuah sampah parasitis dalam tubuh masyarakat dan hidup atas kerja keras orang lain. Seperti pada nasib tuan tanah feodal dulu, hal inilah yang dialami oleh para borjuasi atau kapitalis kini. Menurut Marx kehancuran feodalisme dan lahirnya kapitalisme telah membuat terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang sifatnya antagonistis, yaitu kelas borjuis yang memiliki alat produksi dan kelas proletar yang tidak mempunyai alat produksi. Dua kelas inilah yang dalam terminologi marxis disebut kelas fundamental karena sifatnya yang tak terdamaikan atau antagonis. Penghancuran atas salah satunya merupakan gerak sejarah yang di manifestasikan lewat perjuangan kelas.
Marx membuktikan bahwa masyarakat kapitalis adalah masyarakat terakhir dalam sejarah manusia dengan kelas-kelas antagonistisnya. Jalan yang mengarahkan kepada masyarakat tanpa kelas terletak pada perjuangan kelas proletariat melawan segala bentuk penindasan, demi membangun kekuatannya dalam masyarakat yang diciptakan untuk melindungi kepentingan rakyat pekerja.
Marx memandang kelas pekerja sebagai kekuatan sosial utama di jaman kapitalisme yang memiliki kemampuan untuk mengeleminasi sistem kapitalis dan menciptakan sebuah masyarakat baru tanpa kelas yang terbebas dari eksploitasi.

Asal Mula Kelas.
Dalam hukum perkembangan masyarakat Marx berdasarkan salah satu jarannya tentang materialisme histories, Pada awalnya tidak ada kelas dalam masyarakat yaitu pada jaman komunal primitif. Pada jaman ini, orang harus saling toltong menolong dalam rangka terus bertahan hidup dan melindungi diri berbagai macam binatang pemangsa. Hal ini memaksa orang harus tinggal menetap, untuk bertahan hidup manusia saat itu berburu hewan, mengumpulkan makanan (tanaman dan buah-buahan) yang dapat dimakan bersama. Tempat tinggal mereka pun dibedakan, dan menjadi pembeda antara   kelompok manusia yang satu atas yang lainnya. Berbagai macam keterampilan, bahasa muncul. Semua hal ini diidetifikasikan sebagai suku atau klan.
Pada saaat ini kerja awalnya dibedakan anatara laki-laki dan perempuan, lalu dibedakan atas dasar kelompok-kelompok usia yang berbeda. Lalu berkembang pada kakhasan pekerjaan rutin yang dilakukan oleh komunitas penanam, peternak dan pemburu. Pembagian kerja merupakan hak prerogatif dari anggota komunitas yang tertua dan paling berpengalaman. Namun demikian, mereka tidaklah dianggap sebagai kelas yang memiliki privilese istimewa karena jumlah mereka yang sedikit jika dibandingkan dengan mayoritas dewasa  dikomunitas disamping hak mereka didapat melalui persetujuan dari mayoritas dewasa. Posisi khusus mereka terletak pada otoritasnya, nukan pada kepemilikan properti atau kekuatan mereka. Pada jaman ini produksi yang dihasilkan orang dibuat hanya untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan langsung, jadi tidak terdapat lahan untuk mengakarnya ketidakadilan sosial.
Setelah jaman komunal primitif berangsur-angsur pudar, banyak hal yang menjadi penyebab hal ini terjadi, selain keharusan sejarah. Berakhirnya jaman ini tidak terjadi secara berbarengan berbagai daerah didunia ini sebgai contoh negara-negara Afrika, formasi kelas-kelas baru mulai terbentuk setelah rejim-rejim kolonial tresingkirkan, yaitu sejak tahun 1950-an sedangkan kelas di Mesir Kuno pada akhir milenium ke-4 dan di awal milenium ke-3 sebelum masehi.
Kemunculan kelas-kelas sosial ini terjadi akibat dari pembagian kerja secara sosial, disaat kepemilikan pribadi atas alat produksi menjadi sebuah kenyataan. Marx melakukan stratifikasi terhadap masyarakat berdasarkan dimensi ekonomi, dimana hal yang paling pokok menurut ia adalah kepemilikan atas alat produksi. Seperti yang selalu dia  katakan dalam berbagai tulisannya, pembagian kerja yang merupakan sumber ketidakadilan sosial timbul saat memudarnya masyarakat komunal primitif.
“Salah satu dari pra kondisi yang paling general dari kehadiran masyarakat yang terbagi atas kelas adalah perkembangan tenaga-tenaga produktif. Dalam perjalanan panjangnya, proses ini menimbulkan tingkat produksi yang bergerak jauh lebih tinggi dari yang dibutuhkan orang untuk melanjutkan hidupnya. Jadi surplus produk memberikan kepada umat manusia lebih dari yang dibutuhkannya, dan sebagai konsekuensinya, ketidakadilan sosial secara bertahap tumbuh dengan sendirinya dalam masyarakat”[5]
Bersamaan dengan kepemilikan pribadi atas alat produksi yang menguasai perkembangan tenaga-tenaga produktif, dan produksi individu atau keluarga telah menghapuska produksi komunal sebelumnya, ketidak adilan ekonomi menjadi tidak terhindarkan lagi dan hal ini mengkondisikan masyarakat ke dalam kelas-kelas.
Para pemimpin dan tetua komunitas yang mempunyai otoritas dalam komuntas untuk melindungi kepentingan bersama ini. Temasuk dalam hal pengawasan dan pengambilan putusan yang dianggal adil oleh komunitas. Hal demikian juga dapat kita sebut sebagai kekuasaan negara elementer, namun pada dasarnya mereka tidak pernah berhenti mengabdi pada komunitas.
Perkembangan tenaga-tenaga produktif dan penggabungan komunitas-komunitas tersebut kedalam entitas yang lebih besar mengarah pada pembagian kerja lebih lanjut. Dalam perkembangnya terbentuklah badan-badan khusus yang berfungsi untuk melindungi kepentingan bersama serta juri dalam perselisihan antar komunitas. Secara bertahap badan-badan ini mendapat otonomi yang semakin besar dan memisahkan dirinya dari masyarakat sekaligus merepresentasikan kepentingan kelompok sosial utama. Otonomi ini dari pejabat urusan publik berubah menjadi bentuk dominasi terhadap masyarakat yang membentuknya, dulunya abdi publik sekarang para pejabat itu berubah menjadi tuan-tuan (lords).
“Pada umumnya, perkembangan produksi sosial menuntut adanya tenaga kerja manusia yang lebih banyak guna terlibat dalam produksi material. Tidak ada komunitas yang sanggup mnyediakan hal itu sendiri, dan tenaga kerja manusia tambahan disediakan oleh peperangan”
Cara lain pembentukan kelas adalah melalui pembudakan terhadap bala tentara musuh yang tertangkap saat perang. Para peserta perang mulai menyadari bahwa lebih bermanfaaat untuk membiarkan para tawanan mereka terus hidup dan memaksa mereka unutuk bekerja. Jadi hak-hak mereka sebagai manusia dicabut dan  diperlakukan tak ubahnya seperti binatang pekerja.
Dalam perkembangan masyarakat selanjutnya, kita akan mengenal kelas-kelas yang salingbbertentangan. Hal ini disebabkan karena kepentingan mereka selalu tidak dapat diketemukan. Dalam terminologi marxis kita akan mengenal bahwa kelas di bedakan menjadi dua macam bentuk dan sifatnya yaitu kelas-kelas fundamental dan kelas-kelas non fundamental.
Kelas-kelas fundamental adalah kelas-kelas yang keberadaannya ditentukan oleh corak produksi yang mendominasi dalam formasi sosial ekonomi tertentu. Setiap formasi sosial ekonomi yang antagonistis memilki dua kelas fundamental. Kelas-kelas ini bisa berupa pemilik budak dan budak, tuan feudal dan hambanya, ataupaun borjuasi dan proletar. Kontradiksi-kontradiksi antagonistis diantara kelas-kelas tersebut berubah oleh penggantian sistem yang berlaku dengan sebuah sistem baru yang progresif.
Kelas-kelas non fundamental adalah bekas-bekas atau sisa-sisa dari kelas dalam sistem yang lama dan masih bisa dilihat dalam sistem yang baru, biasanya kelas ini menumbuhkan corak produksi yang baru dalam bentuk struktur ekonomi yang spesifik. Sebagai contoh para pedagang, lintah darat, petani-petani kecil yang terdapat dalam masyarakat kepemilikan budak dengan kelas yang fundamental pemilik budak dan budak.
Kelas-kelas fundamental dan non fundamental saling bergantung secara erat, karena dalam perkembangan sejarahnya, kelas fundamental bisa menjadi non fundamental, dan demikian pula sebaliknya. Sebuah kels fundamental merosot menjadi sebuah kelas non fundamental saaat corak produksi yang dominan yang mendasarinya secara bertahap berubah menjadi sebuah struktur sosial ekonomi yang sekunder. Sebuah kelas non fundamental menjadi fundamental saat sebuah struktur sosial ekonomi baru yang terdapat di dalam sebuah formasi sosial ekonomi berubah menjadi corak produksi yang dominan.
Masyarakat juga bisa memiliki lapisan orang-orang yang tidak termasuk ke dalam kelas-kelas tertentu, yaitu elemen-elemen tak berkelas  yang telah kehilangan ikatan-ikatan dengan kelas asalnya. Hal ini berlaku bagi lumpen-lumpen kapitalisme yang terdiri atas orang-orang tanpa pekerjaan tertentu atau yang biasa disebut sebagai sampah-sampah masyarakat, seperti pengemis, pelacur, pencuri dan sejenisnya.
Selain kelas, terdapat kelompok sosial besar lain yang garis pembatasnya terletak pada latar yang berbeda dengan latar-latar pembagian kelas, ia munkin saja didasrkan pada usia, jenis kelamin, ras, profesi, kebangsaaan, dan pembeda lainnya.

Max Weber
Lahir di Jerman pada tahun 1864. Belajar ilmu hukum di Universitas Berlin dan Universitas Heidelberg, selepas studinya ia bekerja sebagai dosen ilmu hokum di Univesitas tempat ia belajar dulu. Selain mengajar ia pun berperan sebagai konsulatan dan peneliti, dan semasa Perang Dunia I ia mengabdi di angkatan bersenjata Jerman. Pada tahun 1889 ia menulis sebuah disertasi yang berjudul A Contribution to the History of Medieval Buisness Organization. Salah satu bukunya yang terkenal adalah The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam bukunya ini Weber menggambarkan hubungan antara Etika Protestant dan Kapitalisme di Eropa Barat.
Max Weber termasuk diantara salah satu sosiolog yang tidak sepakat dengan penggunaan dimensi ekonomi semata-mata untuk menentukan stratifikasi sosial. Giddens dalam bukunya sociology menunjukan persamaan antara Marx dan Weber:
“Like Marx, weber regarded society as characterized by conflict over power and resources”
Sekaligus pebedaannya,
“Although Weber accepted Marx’s view that class is founded on objectively given economic factors as important in class formation than were recognized by Marx”
baik Marx maupun Weber keduanya melihat bahwasahnya kelas adalah stratifikasi atas masyarakat berdasarkan dimensi ekonomi. Namun seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa Weber termasuk ilmuwan sosial yang menolak penggunaan dimensi stratifikasi ekonomi semata-mata dalam menntukan stratifikasi sosial masyarakat.
Menurut Weber , stratifikasi sosial tidak sesederhana demikian hingga dapat dijelaskan lewat kelas, ia menambahkan dalam uraiannya tentang kekuasaan dalam masyarakat bahwa pembedaan masyarakat dapat dilihat melalui kelompok status, partai dan kelas.
Kelas menurut Weber adalah sejumlah orang yang mempunyai persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib (life chances). Peluang untuk hidup orang tersebut ditentukan oleh kepentingan ekonomi berupa penguasaan atas barang serta kesempatan untuk memperoleh penghasilan dalam pasaran komoditas atau pasaran kerja. Sebagai akibat dari dipunyainya persamaan untuk menguasai barang dan jasa sehingga diperoleh penghasilan tertentu, mka orang yang berada di kelas yang sama mempunyai persamaan yang dinamakan situasi kelas.
Situasi kelas adalah persamaan dalam hal peluang untuk menguasai persediaan barang, pengalaman hidup pribadi, atau cara hidup. Kategori dasar untuk membedakan kelas ialah kekayaan yang dimilikinya, dan faktor yang menciptakan kelas ialah kepentingan ekonomi, pada titik ini konsep kelas Marx dan Weber adalah sama, yaitu pembedaan kelas dan faktor yang mendorong terciptanya kelas.
Dimensi lain yang digunakan weber adalah ialah dimensi kehormatan. Manusia dikelompokan dalam kelompok status. Kelompok status merupakan orang yang berada dalam situasi status yang sama,  dimana orang yang peluang hidupnya ditentukan oleh ukuran kehormatan, coba lihat pembedaan sultan dan abdi dalem yang ada di Yogyakarta. Persamaan kehormatan status dinyatakan dalm persamaan gaya hidup. Dalam bidang pergaulan hal ini dapat berupa pembatasan dalam pergaulan dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain danya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status ditandai oleh adanya hak istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun material. Dalam hal gaya hidup, hal ini bisa kita lihat dari gaya konsumsi.
Disamping pembedaan lewat dimensi ekonomi dan kehormatan Weber menambakan bahwa masyarakat juga dibeda-bedakan berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan menurut Weber adalah peluang bagi seseorang atau sejumlah orang untuk mewujudkan keinginan mereka sendiri melalui suatu tindakan komunal meskipun mengalami tentangan dari orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal itu. Bentuk dari tindakan komunal ini adalah partai yang diorientasikan pada diperolehnya kekuasaan.

Erik Olin Wright

Sosiolog dari Amerika ini telah membangun teori kelas kombinasi dari pendekatan Marx dan Weber. Sulit rasanya untuk menulis tentang ilmuan sosial yang satu ini, hal ini di sebabkan Wright sendiri tidak pernah mendefinisikan kelas menurut dia sendiri, disamping buat saya adalah referensi tentang pikirannya dalam bentuk buku masih jarang ditemui, beberapa bahan dapat saya temukan lewat internet namun hal ini juga ternyata tidak cukup memuaskan. Dari berbagai tulisannnya tentang sosiologi Erik Olin Wright dapat digolongkan ke kelompok Neo Marxis. Tulisannya tentang kelas dapat banyak ditemukan di Internet. Menurut Wright:
“According to Wright, there are three dimensions of control economic recources in modern capitalist production, and these allow us to identify the major classes which exist”.
  1. Control over investments or money capital.
  2. Control over the physically means of production (land or Factories and offices).
  3. Control over labour power.
Ketiga point diatas seluruhnya dikuasi oleh kelas kapitalis, sedangkan kelas pekerjanya sendiri tidak menguasai satu pun dari tiga hal diatas. Padahal menurut Marx bahwa point pertama dan kedua diatas dihasilkan dari point ketiga. Ironis memang jika melihat hal demikian, bayangkan ada sekelompok orang yang telah seharian bekerja keras namun hasil kerja tidak dapat ia nikmati sendiri.
Diantara dua kelas utama ini ada kelompok yang posisinya ambigu menurut dia, sebut saja seprti yang dia contohkan yaitu para manajer dan pekerja kerah putih atau para professional. Letak ambiguitas orang-orang ini dalam sistem produksi adalah mereka mampu mempengaruhi beberapa aspek dari produksi namun meraka tidak mampu menguasinya. Sama seperti para pekerja manual mereka menjual tenaga mereka kepada kaum kapitalis lewat kontrak kerja namun disatu sisi mereka mempunyai wewenang dalam perencanaan kerja atau kerja mental.
Kita tentu masih ingat apa yang dikatakan Marx, bahwa diantara kelas borjuis dan kelas proletar ada kelas yang dinamakan kelas borjuis kecil, yang dalam perkembangannya akan jatuh kedalam barisan kaum proletariat disebabkan karena mereka tidak mempunyai modal yang cukup besar dalam usahanya. Dalam perjalanan kapitalisme besar tidaknya modal menentukan dalam usaha mempertahankan produksi dan mendapatkan surplus guna memperbesar modal produksi. Sistem monopoli dan persaingan bebas yang berlaku didalam kapitalisme telah memaksa orang-orang yang seperti disebut oleh wright “contradictory class locations” akhirnya habis dimakan oleh kapitalis-kapitalis besar.
Tentu ada sebab-sebab yang menjadikannya kelompok ini muncul, yaitu keahlian dan kemampuan. Dalam konsep mobilitas sosial factor pendidikan mainkan peranan yang cukup penting disini lewat pendidikan individu yang berasal dari status rendah namun berpendidikan tinggi, dalam masyarakat kapitalis yang membutuhkan para pekerja ahli misalnya manajer guna mengawasi berjalannya sistem produksi. Kelas pekerja tidak mempunyai keahlian yang cukup dalam hal manajemen ini karena cuma tenaga yang mereka punya. Itupun akan digantikan oleh mesin-mesin sering dengan kemajuan teknologi. Tentu ada aspek-aspek lain dari hal ini. Biasanya pekerja yang mempunyai keahlian dan berpengalaman dalam bidang dapat memperoleh upah kerja diatas-rata yang diterima oleh pekerja biasa. Kesempatan kerja pun terbuka lebih jauh dan lebar dari kelompok ini akibat dari keahlian yang dimilikinya. Menurut Wright:
“ employees with knowledge and skills are more difficult to monitor and control, employers are obliged to secure their loyalty and cooperation by rewarding them accordingly”
Dimensi kekuasaan dalam sistem produksi dari kelompok ini juga ikut memasukan konsepnya Weber dalam stratifikasi sosialnya Erik Olin Wright. Pada hakekatnya sifat dari kelompok ini adalah oportunis dan pragmatis.
Berdasarkan pengalaman sehari-hari, menurut saya pendekatan Marx dalam melakukan stratifikasi terhadap masyarakat dimana saya hidup cukup relevan. Masyarakat di dalam negara dunia ketiga seperti Indonesia dimana kesenjangan antara yang kaya dan yang dimiskinkan demikian lebarnya, pendekatan Marx bisa menjelaskan apa yang saya alami sehari-hari.
Jaman yang sedang berlangsung ini adalah jaman kapitalisme yang telah mencapai tahapnya yang tertinggi yaitu Imperialisme, dan sedang berjalan menuju kehancurannya, seperti yang diyakini Marx dan para Marxis. Dua kelas utama dalam masyarakat ini adalah borjuis dan proletar. Borjuasi terdiri dari para pemilik properti pertanian dan industri besar yang hanya kerja di perusahaanya, dan menikmati surplus dalam bentuk keuntungan yang didapatnya dari hasil kerja para buruh upahan yang tetap tidak terbayar sesuai dengan kebutuhannya di dalam jaman kapitalisme. Kelas yang berseberangan dengan borjuis, yang di satu sisi merupakan prakondisi dari kemunculannya, dan disisi lain adalah proletar, yaitu kelas yang harus menjual tenaganya kepada para kapitalis sekedar untuk terus bertahan hidup.
Ketergantungan kelas ini terhadap para kapitalis cukup besar dan hal ini diwujudkan dalam bentuk yang berbeda-beda. Seorang pekerja tidak berhak atas alat produksi. Ia bergantung pada tenaganya sendiri dalam kehidupan, dalam jaman ini tak seorangpun kecuali para kapitalis yang memiliki alat produksi dapat membeli dan mempergunakan tenga kerja. Konsekuensi dari hal ini adalah para pekerja terpaksa bekerja untuk para kapitalis tersebut. Borjuis bergerak terus dalam perkembangannya yang sesuai dengan tahap-tahap perkembangan ekonomi dari masyarakat kapitalis. Munculnya borjuis sebagai kelas dihubungkan dengan jaman yang disebut akumulasi modal primitif. Indikasi dari jaman ini adalah perampasan tanah dan instrumen kerja milik masyarakat luas, melalui eleman terpentingnya yaitu perampasan barang-barang kolonial dan ekspansionisme.  Disaat semua syarat telah tersedia bagi mulainya sebuah corak produksi kapitalis. Syarat-syarat itu termasuk telah hadirnya masssa pekerja upahan independen dan konsentrasi kapital ditangan borjuasi.
Di Indonesia hal ini berlangsung dengan masuknya kolonialisme Belanda. VOC sebagai serikat dagangnya waktu itu. Bentuk-bentuk pengisapan yang dilakukan VOC waktu itu adalah leveratien dan contingenten. Leverienten adalah sistem penyerahan hasil pertanian oleh para bupati pesisir kepada VOC dalam jumlah yang ditentukan oleh VOC. Contingeten adalah sistem jatah penyerahan hasil pertanian yang dikenakan pada bupati di pesisir Jawa oleh VOC, dengan demikian kaum tani pada masa itu menderita dua macam penindasan, dari raja-raja, dan dari VOC. Hal ini terus berjalan hingga sampai ke masa imperialisme yang telah menimbulkan situasi baru di Indonesia. Kemunculan pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan besar, pelabuhan-pelabuhan, hingga perusahaan swasta membutuhkan tenaga kerja terdidik untuk melaksanakan pekerjaan yang serba modern. Perubahan tanah-tanah pertanian yang kini telah berubah menjadi kawasan tempat berdirinya berbagai fasilitas produksi. Bersamaaan dengan terjadinya hal ini kelas pekerja pun muncul.
Perkembangan borjuasi dikaitkan dengan revolusi industri dan kapitalisme pra monopoli sampai periode monopoli kapitalisme dan revolusi sains dan teknologi. Awal abad ke 20 adalah tahu oligarki finansial timbul kepermukaan. Sebagai akibat munculnya jutawan-jutawan, kebangkrutan banyak pengusaha kecil dan menengah, konsentrasi modal dan produksi, inilah basis ekonomi kapitalisme mulai masuk ketahapannya yang tertinggi yaitu Imperialisme. Dalam Imperialisme, borjuasi cenderung secara terus-menerus mengecil jumlahnya hal ini diakibatkan oleh persaingan bebas yang menjadi hukum dijaman imperialisme ini. Konsekuensi logis dari hal ini adalah meningkatnya jumlah kaum pekerja.
Proses pembentukan kelas pekerja di negara berkembang, yang ekonominya seringkali merupakan kombinasi antara elemen kapitalis, foedal bahkan patriarkal, merupakan proses yang rumit dan pelik. Hampir tidak ada negara didunia ini dimana kapitalisme hadir dalm bentuk aslinya. Biasanya kelas warisan dari sistem sosial ekonomi sebelumnya terus bertahan dan berdampingan dengan kapitalis, khususnya sisa-sisa dari kelas feodal  atau pemilik tanah yang mendominasi terus bertahan di bebrapa negara bahkan dibawah kapitalisme seperti di Indonesia dapat kita jumpai hubungan-hubungan itu dibeberapa daerah misalnya Yogyakarta dan daerah Jawa lainnya.
Pada masyrakat kapitalis, terdapat beberapa strata kecil yang terdiridari pemilik alat produksi kecil strata ini terbentuk dari petani dan borjusi kecil perkotaaan. Namun dalam perkembangan selanjutnya strata ini akan hancur jika relasi-relasi produksi  akan menajam dalam perkembangannya. Seperti yang dapat kita lihat didalam kondisi di Indonesia dimana angka tenaga kerja yang terus meningkat tak pernah tercukupi oleh lapangan pekerjaan yang tersedia. Negara yang merupakan alat dari kelas yang berkuasa- di Indonesia adalah kelas kapitalis dan kaum komprador-telah melegitimasi atas kondisi yang terjadi dan bahkan mengkondisikan hal ini demi kepentingan kelas yang berkuasa.

Kemiskinan dan Eksklusi Sosial

Urbanisasi Sebagai salah satu implikasi dari pertumbuhan penduduk menjadi, salah satu factor dari kemiskinan. Harapan akan hidup lebih baik yang dibawa dari daerah asalnya ke tempatnya yang baru. Namun di tempatnya yang baru harapanya ternyata tidak juga terpenuhi. Akhirnya ditempat baru ini hanya kemiskinan dan hidup yang tak terjamin dengan penghasilan yang tidak tetap dan dibawah standar guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hidup di daerah perkotaan seperti kota Jakarta ini tentu biaya hidup yang dikeluarkan tidak murah, akhirnya orang hanya bisa berpikir bagaimana caranya bertahan hidup dengan segala macam kebutuhan primer dan sekundernya hari ini. Persoalan kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal pun muncul sebgai masalah pertama untuk hidup diperkotaan. Baru-baru penggusuran terhadap perumahan rakyat dilakukan oleh Pemerintahan Daerah Jakarta. Ada baiknya kita mundur terlebih dahulu,beberapa tahun yang lalu World Bank menyodorkan program tata kota yaitu “ city without slumps”, disamping pemotongan subsidi publik seperti BBM, pendidikan,  etc guna mendapatkan pinjaman hutang luar negeri. Program ini segera direspon oleh Pemda Jakarta dengan semangat juang yang tinggi. Akhir tahun 2001 pun dijadwalkan sebagai waktunya pelaksanaan program ini, mulai dari penggarukan becak yang dianggap sebagai biang keladi kemacetan di Jakarta dan kemudian disusul oleh penggusuran perumahan rakyat yang dianggap kumuh. Umumnya masyarakat yang tinggal di kawasan perumahan ini adalah masyarakat yang mempunyai status kemiskinan absolut menurut Giddens. Program World Bank ini ternyata dipakai oleh Pemda Jakarta guna menghilangkan perkampungan yang menurut mereka dari sanalah segala macam bentuk kriminalitas itu timbul. Kemiskinan yang dialami penduduk kota ini telah mengakibatkan dicabutnya hak mereka untuk bertempat tinggal di kota metropolitan ini oleh negara dimana dalm kondisinya agar mendapat pinjaman diri negara luar, yang padahal belum tentu pinjaman yang mengatasnamakan rakyat itu jatuh ketangan rakyat, karena korupsi sudah sedemikian akutnya di pemerintahan negara ini.
Menurut saya penggusuran yang dilakukan ini merupakan salah satu factor kemiskinan tetap ada di kota Jakarta ini. Dengan dicabutnya hak asasi manusia untuk bertempat tinggal ini, warga kota Jakarta harus bekerja berkali-kali lipat lagi untuk memenuhi kebutuhan primer yang satu ini, padahal kehidupan sehari-hari kebutuhan primer yang lain belum tentu bisa tercukupi oleh penghasilan yang didapatkan.
Namun bisa juga berlaku sebaliknya, bahwa kemiskinan yang diderita orang-orang ini adalah karena ekslusi sosial dari negara dan kelas dalam masyarakat. Seperti yang saya ketahui bahwa penyediaan kebutuhan publik, seperti air minum, listrik, pendidikan, pekerjaan. Oleh negara tidak dilakukan, bahkan pengakuan sebagai penduduk kota ini pun tidak diberikan kepada mereka. Akibat dari hilangnya akses-akses seperti inilah yang juga menyebabkan kenapa kemiskinan masih saja tetap ada bahkan cenderung ke arah pemerataan kemiskinan.

Pendapat saya mengenai stratifikasi sosial

Nyatanya kita diciptakan sebagai manusia yg hidup saling berdampingan, saling membantu dan membutuhkan tanpa strata. karena dari awal kita semua adalah sama di mata Allah SWT. tapi nyatanya stratifikasi sosial sangatlah nyata keberadaannya di dalam kehidupan kita sehari-hari. ada penguasa (kelas menengah ke atas), ada kelas menengah ke bawah, ada si miskin. tentu ini sangat berbenturan dengan nilai-nilai yg di ada dalam kitab suci Al-Qur’an. apabila kawan-kawan memperhatikan kehidupan di dunia, hanya ada satu tempat yg bebas dari statifikasi sosial, yaitu Masjid. di masjid semua sama tanpa srata, imam sujud ma’mum pun sujud. tak peduli sang imam lulusan sd dan presiden sebagai ma’mum, semua tetap sama. tidak ada hal-hal yg mengandung unsur merusak di dalam masjid, karena tidak ada strata, tidak seperti kehidupan di lingkungan masyarakat umumyang penuh dengan kebohongan dan saling menjatuhkan. Jadi, kesimpulannya adalah stratifikasi sosial terkadang terjadi begitu saja tanpa disadari, setiap orang berbeda beda ada yang miskin ada yang berkecukupan, jika semua disamaratakan itu tidak bisa. misalnya dalam penanganan pemerintah, mereka harus membedakan perlakuan terhadap orang miskin dan orang cukup. tapi itu semua dikembalikan kepada diri kita masing2 bagaimana menyikapi stratifikasi itu sendiri

Sumber : Wikipedia indonesia