Penegakan hukum di suatu negara sangatlah penting, karena
sangat pentingnya hukum di suatu negara akan menciptakan masyarakat yang
kondusif dan tenang bagi warganya dan sekaligus warga akan sangat menghormati
hukum itu sendiri. Indonesia sendiri adalah negara hukum. Hal ini tertuang
jelas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
Perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.(UUD
1945) Sebagai konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga UUD 1945, 3
(tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu supremasi
hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara yang
tidak bertentangan dengan hukum.
Di Indonesia belum tercipta tiga prinsip dasar tersebut yang
sesuai harapan dengan terciptanya keadilan. Idealnya keadilan harus diposisikan
secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang
sama tanpa kecuali. Akan tetapi dalam kenyataannya, selama ini yang berkuasa
dan yang mempunyai uang banyaklah yang selalu dimenangkan oleh hukum, walaupun
telah melanggar aturan negara seperti pejabat yang korupsi uang milyaran milik
negara dapat berkeliaran dengan bebas, sedangkan orang biasa bahkan orang yang
terhimpit ekonomi yang terpaksa mengambil sebuah semangka di sawah milik
tetangganya, langsung ditangkap dan dimasukkan ke penjara.
Sejak keberhasilan gerakan reformasi melanda bangsa
Indonesia, sebutan “supremasi hukum” menjadi kata yang sering diucapkan dan
didengar. Istilah ini akan menjadi objek kajian yang menarik dan tidak ada
habis-habisnya untuk dibahas. Hal ini disebabkan karena masalah supremasi hukum
adalah bukti nyata proses penegakan hukum suatu bangsa. Hukum sebagai aturan,
norma, dan kaidah akan selalu mempunyai posisi khas, ia langsung berada dan
bekerja di tengah-tengah masyarakat. Keberagaman cita rasa masyarakat yang
terkemas dalam budaya tradisional dan modern akan menyatu dalam suatu dimensi
hukum.
Bertitik tolak dari
pemikiran seperti itu, maka kebutuhan mendesak yang perlu diperhatikan oleh
bangsa Indonesia adalah merumuskan kembali sikap menjunjung tinggi “supremasi
hukum”, yang baik dan benar di tengah masyarakat yang plural ini. Agar tercipta
masyarakat yang madani dan penuh keadilan di segala aspek kehidupan berbangsa.
Indonesia dikenal sebagai negara hukum, namun kebanyakan
dari warga Negara Indonesia belum
mematuhi hukum-hukum yang berlaku di
Indonesia. Dalam hal ini berarti tujuan
hukum yang sebenarnya belum terwujud. Selama ini supremasi hukum merupakan
agenda utama setiap pemerintahan, tetapi sampai saat ini impian untuk
menegakkan keadilan di bidang hukum belum juga terwujud. Padahal hukum itu
adalah kekuatan yang menentukan kehidupan, bukan ditentukan atau dapat diatur
sesuai keinginan individu yang berkuasa.
A.
Pengertian Supremasi Hukum
Negara berdasar atas hukum menempatkan
hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) sehingga ada istilah supremasi
hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh mengabaikan 3 ide dasar hukum, yaitu
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
Untuk lebih memahami tentang supremasi
hukum, ada baiknya perlu diketahui pengertian hukum. Di bawah ini ada beberapa
pengertian hukum yang dikemukakan oleh para ahli:
- Utrecht memberikan batasan hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati.
- Prof. Mr. E. M. Meyers menyatakan hukum sebagai semua peraturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
- Leon Duguit menyatakan hukum sebagai aturan tingkah laku para anggota masyarakat yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar meninggalkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
- S. M. Amin, SH menyatakan bahwa kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi itulah yang disebut hukum dan tujuan hukum tersebut adalah menegakkan tata tertib dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. (Joko Budi Santoso; 2007: 23)
Dengan mengetahui beberapa pengertian
hukum di atas, maka akan lebih mudah dalam memahami supremasi hukum (khususnya
di Indonesia). Pengertian supremasi hukum sendiri adalah upaya untuk memberikan
jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara
netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama
tanpa kecuali. Hal ini juga termuat dalam UUD ’45 pasal 27 ayat 1, yang
berbunyi ”segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajid menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”.(UUD 1945)
Upaya
penegakan hukum ada kaitannya dengan tercapainya supremasi hukum. Penegakan
hukum yang dapat dilakukan dengan baik dan efektif merupakan salah satu tolak
ukur untuk keberhasilan suatu negara dalam upaya mengangkat harkat dan martabat
bangsanya di bidang hukum terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap
warganya. Sebaliknya
pengakan hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya merupakan indikator
bahwa negara yang bersangkutan belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan
hukum kepada warganya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dapat
dibedakan dalam dua hal, yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam sistem
hukum dan faktor-faktor di luar sistem hukum.
(Joko Budi, 2007: 32)
B.
Supremasi Hukum di Era ORBA dan Reformasi
Supremasi hukum merupakan suatu upaya untuk memberikan
jaminan terciptanya keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan
yang netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan yang sama
tanpa terkecuali. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku pada era Orde Baru atau pada suatu era dimana
rezim Soeharto berkuasa. Pada masa ini seseorang bisa kebal dari hukum apabila
mempunyai kekuasaan dan uang. Tuduhan ini bukan tanpa bukti, banyak kasus-kasus
pelanggaran hukum serius yang lambat penanganannya karena tersangka utamanya
merupakan para penguasa rezim ORBA. Kasus-kasus itu, antara lain;
1.
Kasus kejahatan kemanusiaan pada
tahun 1965-1966.
2.
Kasus penyerangan kantor DPP PDI 27
Juli 1996.
3.
Kasus penjarahan toko-toko milik
warga Tionghoa.
4.
Kasus korupsi Jamsostek.
Hal yang sama juga terjadi pada era Reformasi, masa yang
seharusnya segalam sesuatu yang buruk telah diperbaiki. Namun, pada
kenyataannya untuk keadilan di bidang hukum belum juga tercipta. Salah satunya
adalah Amandemen Kedua UUD’45 Pasal 28I ayat (1) : “Bahwasanya seseorang tidak
dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.” Dari sedikit petikan bunyi
pasal tersebut, dalam ilmu hukum dinamakan prinsip hukum non-retroaktif.
Prinsip tersebut bersumber dari asas legalitas von Feuerbach :”tidak ada tindak
pidana, tanpa adanya peraturan yang mengancam pidana lebih dulu.” Seperti yang
tercantum dalam pasal 1 KUHP kita. Masalah yang muncul apakah prinsip tersebut
juga berlaku untuk kejahatan berat? Sebab dalam pasal tersebut tidak membedakan
tindak pidana biasa dengan tindak kejahatan kemanusiaan seperti tindak
pelanggaran HAM berat. Merujuk pada penjelasan RUU Pengadilan HAM bahwa
pelanggaran HAM berat bukan merupakan pelanggaran terhadap KUHP. Sehingga
prinsip non-retroaktif perundang-undangan tidak berlaku pada kejahatan
kemanusiaan. Meskipun dalam RUU Pengadilan HAM pasal 37 memberlakukan
retroaktif perundangan-undangan terhadap kejahatan kemanusiaan, tetap saja RUU
tersebut akan gugur karena bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1). Karena
sistem hierarki di Indonesia tidak membolehkan hukum yang lebih rendah
tingkatannya bertentangan dengan yang lebih tinggi.
Akan tetapi, pada era ini juga sudah banyak pejabat yang
disidangkan karena kasus korupsi, walaupun mereka benar-benar bersalah hanya
beberapa saja yang masuk penjara. Ternyata hal ini terjadi penyebabnya tidak
lain adalah mau disuapnya aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan.
Dari fakta-fakta yang terungkap di atas menunjukan bahwa
supremasi hukum pada era Orba sampai era Reformasi belum terwujud. Hal ini
terjadi karena sumber hukum dan aparat penegak hukum belum siap mewujudkan
keadilan di bidang hukum.
C. Hubungan Antara Supremasi Hukum,
Demokrasi dan HAM
Supremasi hukum telah mati seiring
dengan berjalannya sistem demokrasi di Indonesia. Hal yang paling mendasari
adalah besarnya pergesekan kekuatan kepentingan kekuasaan dari beberapa titik
pemegang kekuasaan negara. Dalam pelaksanaan demokrasi sangat diperlukan adanya
supremasi hukum yaitu menjunjung tinggi peraturan–peraturan yang berlaku untuk
mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat demi terciptanya
kesadaran hukum dan kepatuhan hukum. Selain dari pada itu juga diperlukan
sistem pemerintahan yang demokrasi yaitu sistem pemerintahan yang mengutamakan
kepentingan rakyat yaitu adanya asas dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Terakhir adalah HAM (Hak Asasi Manusia), hal ini sangat penting
terhadap pelaksanaan supremasi hukum karena berkaitan dengan hak dasar manusia
sebagai mahluk Tuhan. Demikianlah hal–hal yang patut diperhatikan dalam
pelaksanaan supremasi hukum di Indonesia karena sangat sesuai dan patut pula
diperhatikan dalam skala nasional yang bertitik tolak dari UUD 1945 baik
Pembukaan, pasal-pasal beserta penjelasannya.
Hubungan antara negara hukum dan
demokrasi dapat dinyatakan bahwa negara demokrasi pada dasarnya adalah negara
hukum. Namun, negara hukum belum tentu negara demokrasi. Negara hukum hanyalah
satu ciri dari negara demokrasi. Demokrasi baik sebagai bentuk pemerintahan
maupun suatu sistem politik berjalan di atas dan tunduk pada koridor hukum yang
disepakati bersama sebagai aturan main demokrasi. Adapun demokrasi sebagai
sikap hidup ditunjukkan dengan adanya perilaku yang taat pada aturan main yang
telah disepakati bersama pula. Aturan main itu umumnya dituangkan dalam bentuk
norma hukum. Dengan demikian di negara demokrasi, hukum menjadi sangat
dibutuhkan sebagi aturan dan prosedur demokrasi. Tanpa aturan hukum, kebebasan
dan kompetisi sebagai ciri demokrasi akan liar tidak terkendali. Jadi, negara
demokrasi sangat membutuhkan hukum. (Winarno, 2007: 128)
Hubungan antara demokrasi dan hukum
sangat erat, dapat dikatakan bahwa kualitas demokrasi suatu negara akan
menentukan kualitas hukumnya. Artinya negara-negara yang demokratis akan
melahirkan pula hukum-hukum yang berwatak demokratis, sedangkan di
negara-negara yang otoriter aatau non demokratis akan lahir hukum-hukum yang
non demokratis. (Moh.Mahfud, 1999: 53)
Dewasa ini kehidupan ekonomi jauh lebih
baik daripada periode-periode sebelumnya berkat pemerintahan yang kuat dan
otoritarian sesuai dengan pilihan yang telah dilakukan secara sadar sebagai
pecinta hukum. Lahirnya
hukum-hukum yang berkarakter responsif tanpa mengorbankan persatuan dan
kesatuan serta kebutuhan ekonomi dapat lahir di dalam konfigurasi politik yang
demokratis untuk melahirkan hukum-hukum yang renponsif itu, diperlihatkan
demokratisasi di dalam kehidupan politik. Alasan-alasan untuk melakukan
demokratisasi ini sudah cukup jika kesadaran politik masyarakat membaik,
Pancasila diterima sebagai satu-satunya asas oleh orpol dan ormas, dan
kehidupan ekonomi masyarakat dan pertumbuhannya sudah memadai. Dengan modal
itu, proses demokratisasi tidak akan mengancam stabilitas apalagi persatuan
kesatuan bangsa. (Moh.Mahfud, 1999:84)
Peranan supremasi hukum,
demokrasi, dan HAM terhadap pelaksanaan pemerintahan sangat penting karena
supremasi hukum harus ada, sebab negara Indonesia adalah negara hukum atau
negara yang sangat menjunjung tinggi hukum ini dapat terlihat juga dari sistem
demokrasi yang dianut negara kita yaitu Republik Konstitusi, maka pemerintahan
juga harus menjunjung tinggi hukum dalam menggunakan wewenangnya. Selain itu,
pemerintah juga harus memperhatikan aspirasi rakyat dalam membuat keputusan
bagi rakyatnya karena bagaimanapun juga negara kita adalah negara yang
kedaulatannya berada di tangan rakyat, jadi keinginan rakyat tidak bisa
dikesampingkan begitu saja oleh pemerintah. Oleh karena itu, badan
eksekutif dan badan legislatif dalam melaksanakan tugasnya tidak bisa bertindak
sewenang–wenang terhadap rakyat yang bisa melanggar atau membatasi HAM dari
pada itu rakyat itu sendiri.
D. Menciptakan Supremasi Hukum yang
Ideal
Pada pembahasan sebelumnya
perkembangan penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan. Sejak
Indonesia merdeka hingga pemerintahan sekarang masih banyak terdapat
kekurangan-kekurangan maupun penyelewengan hukum dalam mewujudkan negara hukum
di Indonesia. Ini berarti bahwa supremasi hukum belum tercipta di Negara
Indonesia. Penegakan hukum sangat perlu yaitu untuk diarahkan pada pola
pencegahan segala pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh individu dalam
masyarakat ataupun badan hukum. Bukti-bukti nyata yang terjadi dalam
pemerintakan Indonesia, justru pelanggaran hukum banyak dilakukan oleh kalangan
atas, seperti kehakiman, kepolisian dan pejabat-pejabat. Kasus-kasus seperti
korupsi, penyuapan dan bermacam pelanggaran hukum masih sering terjadi.
Artinya, Indonesia adalah negara hukum yang belum sukses mewujudkan supremasi
hukum.
Intregitas kepemimpinan kepolisian,
kejaksaan dan mahkamah agung turut pula dipertanyakan, karena sebagai lembaga
penegak hukum juga ternyata dominan dengan nuansa politik. Ada kemungkinan
niatan yang dilandasi politik akan berujung pada bupaya penegakan hukum, atas
produk hukum yang kemudian tak sekedar kertas bertinta emas tapi
pengejawantahan kehidupan ketertiban hukum agar terpelihara integritas sosial
yang melingkupi masyarakat, pasar dan negara. Bila ini tak
terjawab dengan memuaskan, maka akan menimbulkan rasa miris bagi siapapun yang
mengetahui kondisi ini. Tetapi
semuanya hanya tinggal mimpi untuk menerapkan supremasi hukum di tengah
hembusan demokrasi yang didengungkan negara ini, ataukah masih menyisakan
harapan bagi terwujudnya negara hukum. (http://persma.com/baca/2009/10/26/matinyasupremasi-hukum-di-tangan-demokrasi.html)
Keberadaan hukum merupakan posisi yang unik dan dapat
memberikan dampak bagi lingkungan sekitar, terutama bagi dinamisasi kehidupan
masyarakat, antara hukum dengan masyarakat, penjahat dengan pejabat, orang
baik-baik, atasan dan bawahan, seharusnya tidak ada tirai pembatas. Oleh karena
itu, sifat hukum harus dogmatis dan universal.
Beberapa poin penting untuk bisa mencapai supremasi hukum,
bergantung pada bagaimana pelaksanaan hukum itu sendiri. Ada beberapa pendapat
tentang tujuan hukum yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk mencapai
supremasi hukum yang ideal.
- Teori etis, mengatakan bahwa hukum itu semata-mata menghendaki keadilan. Isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
- Geny, mengatakan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Sebagai unsur keadilan, ada kepentingan daya guna dan kemanfaatan.(Budiyanto, 2004: 54)
Beberapa
pendapat di atas menyatakan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan keadilan,
maka dengan terciptanya keadilan ini maka supremasi hukum dapat terwujud. Namun, dengan
banyaknya penyelewengan hukum di Indonesia dapat dikatakan bahwa penerapan
keadilan belum terwujud.
Untuk
dapat mencapai keadilan hukum, maka penegakan hukum sangat perlu. Hukum dan perundang-undangan harus
berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh terutama aturan hukum tentang
HAM. (Sunarso, 2008 :
150)
Dengan adanya
praktik politik, maka hal ini juga berpengaruh pada keadaan hukum di Indonesia.
Pada konfigurasi politik tertentu melahirkan produk hukum dengan karakter
tertentu, yakni konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan
produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang
otoriter melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif. Karakter
responsif maupun konservatif salah satunya ditandai dalam pembuatan produk hukum yang responsif
menyerap aspirasi masyarakat seluas-luasnya (parsitipatif), sedangkan produk
hukum yang konservatif lebih didominasi lembaga-lembaga negara terutama pihak
eksekutif (sentralistis). (Moh.Mahfud, 1999: 295)
Hukum harus mampu mencerna segala
perubahan secara tenang dan baik-baik. Globalisasi, dunia tanpa pembatas,
skenario elit politik, suksesi, korupsi, kolusi, nepotisme, supremasi hukum,
demokratisasi, HAM, disintergrasi bangsa dan intrik-intrik politik, semuanya
harus dihadapi oleh hukum. Hukum harus mampu secara langsung berhadapan dengan
perilaku yang muncul tersebut. Sehingga hukum berfungsi sebagai alat kontrol
masyarakat dengan segala perundang-undangan yang berlaku dan harus ditaati
masyarakat. Dalam menghadapi perubahan perilaku masyarakat, maka hukum harus
dengan cepat beradaptasi dalam perubahan tersebut. Jika terjadi keterasingan
masyarakat terhadap hukum maka citra terhadap hukum akan menurun, sebagai
konsekuensi, maka sangat diperlukan hukum yang selalu mengikuti konsep,
orientasi dan masalah-masalah yang setiap saat bisa berubah secara cepat.
Dengan kata lain, supremasi hukum jangan dijadikan hanya sebagai simbol dalam
suatu pemerintahan. Hukum tidak hanya merupakan unsur tekstual saja, yang dipandang
dari kaca mata Undang-undang. Namun, hukum merupakan unsur kontekstual yang
dapat dilihat dari perspektif yang lebih luas. Dalam suasana perubahan yang
serba cepat ini, perwujudan supremasi hukum akan memenuhi lebih banyak para
pelaksana hukum yang mampu bertanggung jawab, berdedikasi dan bermoral serta
mempunyai intelektual tinggi yang mampu mengatasi berbagai permasalahan. (http://bataviase.co.id/content/mmbangun-supremasi-hukum)
Hal itulah yang menjadi poin agar
supremasi hukum dapat mencapai standar ideal, unsur-unsur penegak hukum yang
seperti itulah yang dibutuhkan untuk menghadapi segala permasalahan agar
supremasi hukum dapat terwujud dengan cepat.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah ini,
maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Supremasi hukum adalah upaya untuk
memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara
netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama
tanpa kecuali.
2. Keadilan yang
netral artinya setiap orang memiliki
kedudukan dan perlakuan yang
sama tanpa terkecuali. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada era Orde Baru.
Beberapa kasus-kasus pelanggaran hukum serius yang lambat penanganannya karena
tersangka utamanya merupakan para penguasa rezim ORBA. Kasus-kasus itu, antara lain;
a. Kasus kejahatan kemanusiaan pada
tahun 1965-1966.
b. Kasus penyerangan kantor DPP PDI 27
Juli 1996.
c. Kasus penjarahan toko-toko milik
warga Tionghoa.
d. Kasus korupsi Jamsostek.
Hal yang sama juga terjadi pada era Reformasi, masa yang
seharusnya segala sesuatu yang buruk telah diperbaiki. Namun, pada kenyataannya untuk
keadilan di bidang hukum belum juga tercipta.
3. Hubungan supremasi hukum, demokrasi,
dan HAM adalah hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Supremasi hukum dapat
tercipta jika hukum dilaksanakan dengan berdasar pada keadilan. Negara yang
demokratis akan akan mewujudkan watak hukum yang demokratis. Tanpa aturan
hukum, kebebasan dan kompetisi sebagai ciri demokrasi akan liar tidak
terkendali. Dengan adanya demokrasi, maka Hak Asasi Manusia pun akan dijunjung
sebagai wujud negara demokrasi yang tertib hukum.
4. Untuk mencapai Supremasi yang ideal
maka diperlukan penegakan hukum yaitu
diarahkan pada pola pencegahan segala pelanggaran hukum baik yang dilakukan
oleh individu dalam masyarakat ataupun badan hukum. Guna perwujudan supremasi hukum yang
memenuhi lebih banyak para pelaksana hukum yang mampu bertanggung jawab,
berdedikasi dan bermoral serta mempunyai intelektual tinggi yang mampu
mengatasi berbagai permasalahan.
Saran
Berdasarkan kesimpulan
di atas, maka saya memberikan saran, antara lain:
1. Menindak secara tegas bagi para
pelanggar hukum di semua kalangan, baik yang ada di masyarakat, maupun di
kalangan pejabat.
2. Diharapkan seluruh komponen
masyarakat di Indonesia dapat memahami arti serta perlunya hukum serta
menerapkan hukum yang berlaku sehingga dapat ditegakkannya supremasi hukum yang
bertujuan keadilan sosial.
3. Menghindari kasus-kasus
penyelewengan hukum, seperti korupsi dan penyuapan di manapun kita berada.
Sumber :
Ajat M Fajar. 100 Hari SBY-Boediono,
Supremasi Hukum Masih Lemah.
dari http://news.okezone.com/read/2010/01/27/39/298164/100-hari-sby-boediono-supremasi-hukum-masih-lemah
Anang Usman. Supremasi Hukum,
Kenyataan yang Sulit Terwujud. dari http://forum.polwiltabessurabaya.net/viewtopic.php
Budiyanto.
2004. Kewarganegaraan untuk SMA kelas X.
Jakarta : Erlangga.
Joko Budi Santoso. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMK Kelas X.
Jakarta : Yudhistira.
Kusumohamidjojo, Budiono. 1999. Ketertiban yang Adil, Problematik Filsafat
Hukum. Jakarta : Grasindo.
Moh. Mahfud. 1999. Pergulatan politik dan Hukum di Indonesia.
Yogyakarta : Gama media.
Sunarso, dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan
tinggi. Yogyakarta : UNY press.
Winarno. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi.
Jakarta : Bumi Aksara.
Tim Redaksi Pustaka Setia. 2010. UUD 1945. Pustaka Setia. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar