Menurut pendapat saya stratifikasi social diindonesia
akan saya jelaskan dibawah ini secara lengkap dan jelas
PENDAHULUAN STRATIFIKASI SOSIAL
Masyarakat manusia terdiri dari beragam kelompok-kelompok
orang yang ciri-ciri pembedanya bisa berupa warna kulit, tinggi badan, jenis
kelamin, umur, tempat tinggal, kepercayaan agama atau politik, pendapatan atau
pendidikan. Pembedaan ini sering kali dilakukan bahkan mungkin diperlukan.
Semua manusia dilahirkan sama seperti yang selama ini kita
tahu, melalui pendapat para orang-orang bijak dan orang tua kita atau bahkan
orang terdekat kita. Pendapat demikian ternyata tidak lebih dari omong kosong
belaka yang selalu ditanamkan kepada setiap orang entah untuk apa mereka selalu
menanamkan hal ini kepada kita.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, kenyataan itu adalah
ketidaksamaan. Beberapa pendapat sosiologis mengatakan dalam semua
masyarakat dijumpai ketidaksamaan di berbagai bidang misalnya saja dalam
dimensi ekonomi: sebagian anggota masyarakat mempunyai kekayaan yang berlimpah
dan kesejahteraan hidupnya terjamin, sedangkan sisanya miskin dan hidup dalam
kondisi yang jauh dari sejahtera. Dalam dimensi yang lain misalnya kekuasaan:
sebagian orang mempunyai kekuasaan, sedangkan yang lain dikuasai. Suka atau
tidak suka inilah realitas masyarakat, setidaknya realitas yang hanya bisa
ditangkap oleh panca indera dan kemampuan berpikir manusia. Pembedaan anggota
masyarakat ini dalam sosiologi dinamakan startifikasi sosial.
Seringkali dalam pengalaman sehari-hari kita melihat
fenomena sosial seperti seseorang yang tadinya mempunyai status tertentu di
kemudian hari memperoleh status yang lebih tinggi dari pada status sebelumnya.
Hal demikian disebut mobilitas sosial. Sistem Stratifikasi menuruf sifatnya
dapat digolongkan menjadi straifikasi terbuka dan stratifikasi tertutup, contoh
yang disebutkan diatas tadi merupakan contoh dari stratifikasi terbuka dimana
mobilitas sosial dimungkinkan.
Suatu sistem stratifikasi dinamakan tertutup manakala setiap
anggota masyarakat tetap pada status yang sama dengan orang tuanya, sedangkan
dinamakan terbuka karena setiap anggota masyarakat menduduki status berbeda
dengan orang tuanya, bisa lebih tinggi atau lebih rendah.
Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification)
adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal
(bertingkat).
Pengertian
Definisi sistematik antara lain dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa
pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya
lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada
lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial.
P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut
stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam
kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi
kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.
Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial
Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan
pelapisan sosial adalah sebagai berikut.
Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota
masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki
kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem
pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai
kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat
dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang
dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan
menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang
bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab
orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang
tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan
kekayaan.
Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan.
Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari
sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada
masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang
banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang
berprilaku dan berbudi luhur.
Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang
menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan
akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang
bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam
gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang,
misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional
seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini
jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu
yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang
tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli
skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
Tiga Sifat Stratifikasi Sosial
Menurut Soerjono Soekanto, dilihat dari sifatnya pelapisan sosial dibedakan
menjadi sistem pelapisan sosial tertutup, sistem pelapisan sosial terbuka, dan
sistem pelapisan sosial campuran.
Stratifikasi Sosial Tertutup (Closed Social Stratification)
Stratifikasi ini adalah stratifikasi dimana anggota dari setiap strata sulit
mengadakan mobilitas vertikal. Walaupun ada mobilitas tetapi sangat terbatas
pada mobilitas horisontal saja. Contoh:
– Sistem kasta.
Kaum Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana.
– Rasialis.
Kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan
di posisi kulit putih.
– Feodal.
Kaum buruh tidak bisa pindah ke posisi juragan/majikan.
b. Stratifikasi Sosial Terbuka (Opened Social Stratification)
Stratifikasi ini bersifat dinamis karena mobilitasnya sangat besar. Setiap
anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun
horisontal. Contoh:
– Seorang miskin karena usahanya bisa menjadi kaya, atau sebaliknya.
– Seorang yang tidak/kurang pendidikan akan dapat memperoleh pendidikan asal
ada niat dan usaha.
c.Stratifikasi Sosial Campuran
Stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara
stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya, seorang Bali berkasta
Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke
Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah. Maka, ia harus
menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.
1. Pengaruh Diferensiasi Sosial dan Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat
A. Pengaruh Diferensiasi Sosial
Pada Modul terdahulu Anda telah mempelajari Diferensiasi Sosial. Masih ingatkah
Anda perbedaaan antara Kemajemukan Sosial dengan Heterogenitas Sosial? Ada dua
hal dalam Diferensiasi Sosial yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat di
Indonesia. Mari kita bahas:
* Kemajemukan Sosial :
Pengelompokkan masyarakat secara horisontal yang didasarkan pada adanya
perbedaan Ras, Etnis (suku bangsa), klen, agama dsbnya.
Kemajemukan masyarakat Indonesia terbentuk karena beberapa hal seperti:
– Keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari beberapa ribu pulau besar kecil
dari barat sampai ke timur yang kemudian tumbuh menjadi satu kesatuan
sukubangsa yang melahirkan berbagai ragam budaya.
– Indonesia terletak antara dua titik silang samudra yaitu Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik. Letak strategis ini merupakan daya tarik bagi bangsa-bangsa
asing datang dan singgah di wilayah ini sehingga Amalgamasi (perkawinan campur)
dan Asimilasi (perbauran budaya) diantara kaum pendatang dan penduduk asli
maupun antara kaum pendatang sendiri terjadi. Hal demikian membuat masyarakat
Indonesia terdiri dari berbagai ras, etnis dan sebagainya.
Iklim yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lain menimbulkan
perbedaan mata pencaharian penduduknya. Contoh: orang yang tinggal di wilayah
pedalaman cenderung bermata pencaharian sebagai petani, sedangkan yang tinggal
di wilayah pantai sebagai nelayan/pelaut.
Dapat ditarik kesimpulan dengan adanya Diferensiasi Sosial mempengaruhi
terbentuknya anekaragam budaya, misalnya : bahasa, dialek, kesenian,
arsitektur, alat-alat budaya, dsbnya.
b. H e t e r o g e n i t a s
Ada dua macam Heterogenitas, yakni:
1) Heterogenitas masyarakat berdasarkan profesi/pekerjaan.
Masyarakat Indonesia yang besar ini penduduknya terdiri dari berbagai profesi
seperti pegawai negeri, tentara, pedagang, pegawai swasta, dsbnya. Setiap
pekerjaan memerlukan tuntutan profesionalisme agar dpat dikatakan berhasil.
Untuk itu diperlukan penguasaan ilmu dan melatih ketrampilan yang berkaitan
dengan setiap pekerjaan. Setiap pekerjaan juga memiliki fungsi di masyarakat
karena merupakan bagian dari struktur masyarakat itu sendiri. Hubungan antar
profesi atau orang yang memiliki profesi yang berbeda hendaknya merupakan
hubungan horisontal dan hubungan saling menghargai biarpun berbeda fungsi,
tugas, bahkan berbeda penghasilan.
2) Heterogenitas atas dasar jenis kelamin.
Di Indonesia biarpun secara konstitusional tidak terdapat diskriminasi sosial
atas dasar jenis kelamin, namun pandangan “gender” masih dianut sebagaian besar
masyarakat Indonesia.
Pandangan gender ini dikarenakan faktor kebudayaan dan agama. Apabila kita
melihat kemajuan Indoensia sekarang ini, banyak perempuan yang berhasil
mengusai Iptek dan memiliki posisi yang strategis dalam masyarakat. Maka sudah
selayaknya perbedaan jenis kelamin dikatagorikan secara horisontal, yaitu
hubungan kesejajaran yang saling membutuhkan dan saling melengkapi.
Dari kedua macam Heterogenitas tersebut dapat ditarik kesimpulan : melalui
Hetrogenitas memunculkan adanya profesionalismeprofesionalisme dalam pekerjaan,
keterampilan-keterampilan khusus (skill), spesialisasi-spesialisasi pekerjaan,
penyadaran HAM, dsbnya.
B. Pengaruh Stratifikasi Sosial
Selain menimbulkan tumbuhnya pelapisan dalam masyarakat, juga munculnya kelas-kelas
sosial atau golongan sosial yang telah kita pelajari pada Modul terdahulu.
Adanya pelapisan sosial dapat pula mengakibatkan atau mempengaruhi
tindakan-tindakan warga masyarakat dalam interaksi sosialnya. Pola tindakan
individu-individu masyarakat sebagai konsekwensi dari adanya perbedaan status
dan peran sosial akan muncul dengan sendirinya.
Pelapisan masyarakat mempengaruhi munculnya life chesser & life stile
tertentu dalam masyarakat, yaitu kemudahan hidup dan gaya hidup tersendiri.
Misalnya, orang kaya (lapisan atas) akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam
hidupnya, jika dibandingkan orang miskin (lapisan bawah); dan orang kaya akan
punya gaya hidup tertentu yang berbeda dengan orang miskin.
Contoh pelapisan sosial yang terjadi dalam masyarakat
Gaya hidup masing-masing orang berbeda-beda. Ada orang yang hidup dengan gaya
mewah, adapula yang hidup secara
sederhana.Pola
hidup masyakat tentunya dilatarbelakangi oleh statusnya dalam masyarakat.
Diferensiasi social
Pada intinya hal-hal yang terdapat dalam
diferensiasi itu tidak terdapat
tingkatan-tingkatan, namun yang membedakan satu individu dengan
individu
yang lainnya adalah sesuatu yang biasanya telah ia bawa sejak
lahir.
contohnya saja, suku
sunda dan suku
batak memiliki kelebihan masing-masing. jadi
seseorang tidak bisa menganggap suku bangsanya lebih baik, karena itu akan
menimbulkan
etnosentrisme
dalam
masyarakat.
diferensiasi merupakan
perbedaan yang dapat kita lihat dan kita rasakan dalam masyarakat, bukan untuk
menjadikan kita berbeda tingkat
sosialnya seperti yang terjadi di
Afrika Selatan.
“The history of all hitherto existing society is the history
of class struggles”.
Mobilitas Sosial yang disebut tadi berarti perpindahan
status dalam stratifikasi sosial. Banyak sebab yang dapat memungkinkan individu
atau kelompok berpindah status, pendidikan dan pekerjaan misalnya adalah salah
satu faktor yang mungkin dapat meyebabkan perpindahan status ini. Masih banyak
sebab-sebab lain dalam mobilitas sosial ini, namun yang menjadi pertanyaan saya
adalah kondisi dan atas dasar apa individu maupun kelompok melakukan
perpindahan status ini? Tetapi biarlah pertanyaan ini tetap menjadi pertanyaan.
“ Historically four basic systems of stratification have
existed in human societies: slavery, caste, estates and class ”
[2]
Stratifikasi sosial digunakan untuk menunjukan ketidaksamaan
dalam masyarakat manusia. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa banyak
dimensi dalam stratifikasi sosial akan tetapi tidak semua dimensi akan ditulis
dalam makalah ini mengingat keterbatasan pengetahuan saya soal hal ini. Namun
beberapa stratifikasi yang menurut saya penting akan saya tuliskan. Pertama, perbudakan seperti yang
kita tahu pada sistem seperti ini masyarakat di bagi menjadi dua pemilik budak
dan budak. Dimana seseorang atau kelompok orang dimiliki sebagai hak milik
seseorang. Namun hal ini sudah lama tidak berlaku lagi saat ini. Salah satu
penyebab adanyanya budak adalah perang. Dimana pihak yang kalah kemudian
dijadikan tawanan kerja paksa.. Kedua, kasta hal
ini berhubungan dengan kepercayaan bansa India dimana mereka percaya terhadap
reinkarnasi bahwa manusia akan dilahirkan kembali, dan setiap orang wajib
menjalani hidupnya sesuai dengan kastanya, dan bagi mereka yang tidak
menjalankan kewajiban sesuai kastanya maka dalam kehidupan mendatang akan
dilahirkan kembali didalam kasta yang lebih rendah. Setiap orang dalam sistem
kasta ini mendapatkan tingkatan kastanya berdasarkan kasta keluarga mereka.
Namun yang masih belum jelas disini adalah atas dasar apa dan darimana keluarga
mereka mendapatkan kedudukan dalam kasta tersebut? Ketiga,
Estates hal ini erat hubungannya dengan sistem Feodal dimana kedudukan
seseorang dinilai dari seberapa banyak dia memiliki tanah. Tanah ini merupakan
hadiah atau penghargaan untuk para raja-raja bangsawaan atas dukungannya
terhadap raja. Keempat, kelas ialah pembagian
masyarakat atas dasar kemampuan ekonomi yang tercermin dalam gaya hidupnya.
Perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat sejak jaman
perbudakan sampai revolusi industri hingga sekarang secara mendasar dan
menyeluruh telah memperlihatakan pembagian kerja dalam masyarakat. Berdasarkan
hal tersebut maka diferensiasi sosial yang tidak hanya berarti peningkatan
perbedaan status secara horizontal maupun vertical. Hal ini telah menarik para
perintis sosiologi awal untuk memperhatikan diferensiasi sosial, yang termasuk
juga stratifikasi sosial. Perbedaan yang terlihat di dalam masyarakat ternyata
juga memiliki berbagai macam implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Status
yang diperoleh kemudian menjadi kunci akses kesegala macam hak-hak istimewa
dalam masyarakat yang pada dasarnya hak istimewa tersebut merupakan hasil dari
rampasan dan penguasaan secara paksa oleh yang satu terhadap yang lainya,
mendominasi dan didominasi, yang pada akhirnya merupakan sumber dari
ketidaksamaan di dalam masyarakat. Berbagai macam argumentasi pun diajukan guna
menjelaskan ketidaksamaan ini yang kemudian berubah menjadi ketidakadilan.
Kelas dan Stratifikasi
Karl Marx
Seseorang yang mengguncangkan dunia dengan analisisnya
yang tajam dan akurat tentang keadaan manusia di era kapitalisme. Pembedahan
atas situasi ekonomi dan politik yang dilakukannya dalam kondisi pelarian
politik dan kematian tragis anak-anaknya. Tak ada ungkapan yang tepat selain
revolusioner baginya. Lahir di Jerman pada tanggal 5 mei 1818. Semuanya
berawal ketika ia kuliah di di Berlin, dari sini lah seorang pelarian politik
di kemudian hari ini memberi inspirasi kepada jutaan umat manusia untuk
mengemansipasi dirinya lewat perjuangan kelas akibat ketertindasan dan
penghisapan yang dilakukan oleh para kapitalis.
Seluruh pemikiran Karl Marx berdasarkan bahwa pelaku-pelaku
utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Salah satu kesulitan dalam
teori kelasnya Marx adalah meskipun Marx sering berbicara tentang kelas-kelas
sosial, namun ia tidak pernah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan istilah
“kelas”. Ada baiknya kita ambil saja salah satu definisi tentang kelas dari
seorang marxis sekaligus pemimpin revolusi Bolshevik 1917 yang
termahsyur, Lenin mendefinisikan kelas sebagai berikut:
“Classes are large groups of people differing from each
other by the place they occupy in a historically determined system of social
production, by their relation (in most cases fixed and formulated in law) to
the means of production, by their role in the social organisation of labour,
and, consequently, by the dimensions and mode of acquiring the share of social
wealth of which they dispose. Classes are groups of people one of which can
appropriate the labour of another owing to the different places they occupy in
a definite system of social economy“.
Inilah definisi kelas khas kaum marxis. Kelas-kelas sosial
pun dibedakan menjadi berdasarkan posisinya dalam produksi, menurut
mereka:
“kriteria fundamental yang membedakan kelas-kelas adalah
posisi yang mereka duduki dalam produksi sosial, dan kosekuensinya menentukan
relasi mereka terhadap alat-alat produksi”.
Relasi dimana kelas-kelas menempati posisi atas alat
produksi menentukan peran mereka dalam organisasi sosial kerja, sebab
kelas-kelas memiliki fungsi-fungsi yang berbeda dalam produksi sosial. Dalam
masyarakat antagonis beberapa kelas mengatur produksi, mengatur perekonomian
dan mengatur seluruh urusan-urusan sosial, misalnya mereka yang memiliki
keunggulan dalam kerja mental. Sementara kelas-kelas lainnya menderita di bawah
beban kewajiban kerja fisik yang berat. Biasanya, dalam masyarakat yang tebagi
atas kelas-kelas, manajemen produksi dijalankan oleh kelas yang memiliki alat
produksi. Namun segera setelah beberapa relasi produksi menjadi sebuah halangan
bagi perkembangan tenaga-tenaga produktif, kelas-kelas penguasa pun harus mulai
memainkan peran yang berbeda dalam organisasi sosial kerja. Ia berangsur-angsur
kehilangan signifikansinya sebagai organisator produksi, dan merosot posisisnya
menjadi sebuah sampah parasitis dalam tubuh masyarakat dan hidup atas kerja keras
orang lain. Seperti pada nasib tuan tanah feodal dulu, hal inilah yang dialami
oleh para borjuasi atau kapitalis kini. Menurut Marx kehancuran feodalisme dan
lahirnya kapitalisme telah membuat terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas
yang sifatnya antagonistis, yaitu kelas borjuis yang memiliki alat produksi dan
kelas proletar yang tidak mempunyai alat produksi. Dua kelas inilah yang dalam
terminologi marxis disebut kelas fundamental karena sifatnya yang tak
terdamaikan atau antagonis. Penghancuran atas salah satunya merupakan gerak
sejarah yang di manifestasikan lewat perjuangan kelas.
Marx membuktikan bahwa masyarakat kapitalis adalah
masyarakat terakhir dalam sejarah manusia dengan kelas-kelas antagonistisnya.
Jalan yang mengarahkan kepada masyarakat tanpa kelas terletak pada perjuangan
kelas proletariat melawan segala bentuk penindasan, demi membangun kekuatannya
dalam masyarakat yang diciptakan untuk melindungi kepentingan rakyat pekerja.
Marx memandang kelas pekerja sebagai kekuatan sosial utama
di jaman kapitalisme yang memiliki kemampuan untuk mengeleminasi sistem
kapitalis dan menciptakan sebuah masyarakat baru tanpa kelas yang terbebas dari
eksploitasi.
Asal Mula Kelas.
Dalam hukum perkembangan masyarakat Marx berdasarkan salah
satu jarannya tentang materialisme histories, Pada awalnya tidak ada kelas
dalam masyarakat yaitu pada jaman komunal primitif. Pada jaman ini, orang harus
saling toltong menolong dalam rangka terus bertahan hidup dan melindungi diri
berbagai macam binatang pemangsa. Hal ini memaksa orang harus tinggal menetap,
untuk bertahan hidup manusia saat itu berburu hewan, mengumpulkan makanan
(tanaman dan buah-buahan) yang dapat dimakan bersama. Tempat tinggal mereka pun
dibedakan, dan menjadi pembeda antara kelompok manusia yang satu
atas yang lainnya. Berbagai macam keterampilan, bahasa muncul. Semua hal ini
diidetifikasikan sebagai suku atau klan.
Pada saaat ini kerja awalnya dibedakan anatara laki-laki dan
perempuan, lalu dibedakan atas dasar kelompok-kelompok usia yang berbeda. Lalu
berkembang pada kakhasan pekerjaan rutin yang dilakukan oleh komunitas penanam,
peternak dan pemburu. Pembagian kerja merupakan hak prerogatif dari anggota
komunitas yang tertua dan paling berpengalaman. Namun demikian, mereka tidaklah
dianggap sebagai kelas yang memiliki privilese istimewa karena jumlah mereka
yang sedikit jika dibandingkan dengan mayoritas dewasa dikomunitas
disamping hak mereka didapat melalui persetujuan dari mayoritas dewasa. Posisi
khusus mereka terletak pada otoritasnya, nukan pada kepemilikan properti atau
kekuatan mereka. Pada jaman ini produksi yang dihasilkan orang dibuat hanya
untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan langsung, jadi tidak terdapat lahan untuk
mengakarnya ketidakadilan sosial.
Setelah jaman komunal primitif berangsur-angsur pudar,
banyak hal yang menjadi penyebab hal ini terjadi, selain keharusan sejarah.
Berakhirnya jaman ini tidak terjadi secara berbarengan berbagai daerah didunia
ini sebgai contoh negara-negara Afrika, formasi kelas-kelas baru mulai
terbentuk setelah rejim-rejim kolonial tresingkirkan, yaitu sejak tahun 1950-an
sedangkan kelas di Mesir Kuno pada akhir milenium ke-4 dan di awal milenium
ke-3 sebelum masehi.
Kemunculan kelas-kelas sosial ini terjadi akibat dari
pembagian kerja secara sosial, disaat kepemilikan pribadi atas alat produksi
menjadi sebuah kenyataan. Marx melakukan stratifikasi terhadap masyarakat
berdasarkan dimensi ekonomi, dimana hal yang paling pokok menurut ia adalah
kepemilikan atas alat produksi. Seperti yang selalu dia katakan dalam
berbagai tulisannya, pembagian kerja yang merupakan sumber ketidakadilan sosial
timbul saat memudarnya masyarakat komunal primitif.
“Salah satu dari pra kondisi yang paling general dari
kehadiran masyarakat yang terbagi atas kelas adalah perkembangan tenaga-tenaga
produktif. Dalam perjalanan panjangnya, proses ini menimbulkan tingkat produksi
yang bergerak jauh lebih tinggi dari yang dibutuhkan orang untuk melanjutkan
hidupnya. Jadi surplus produk memberikan kepada umat manusia lebih dari yang
dibutuhkannya, dan sebagai konsekuensinya, ketidakadilan sosial secara bertahap
tumbuh dengan sendirinya dalam masyarakat”
[5]
Bersamaan dengan kepemilikan pribadi atas alat produksi yang
menguasai perkembangan tenaga-tenaga produktif, dan produksi individu atau
keluarga telah menghapuska produksi komunal sebelumnya, ketidak adilan ekonomi
menjadi tidak terhindarkan lagi dan hal ini mengkondisikan masyarakat ke dalam
kelas-kelas.
Para pemimpin dan tetua komunitas yang mempunyai otoritas
dalam komuntas untuk melindungi kepentingan bersama ini. Temasuk dalam hal
pengawasan dan pengambilan putusan yang dianggal adil oleh komunitas. Hal
demikian juga dapat kita sebut sebagai kekuasaan negara elementer, namun pada
dasarnya mereka tidak pernah berhenti mengabdi pada komunitas.
Perkembangan tenaga-tenaga produktif dan penggabungan
komunitas-komunitas tersebut kedalam entitas yang lebih besar mengarah pada
pembagian kerja lebih lanjut. Dalam perkembangnya terbentuklah badan-badan
khusus yang berfungsi untuk melindungi kepentingan bersama serta juri dalam
perselisihan antar komunitas. Secara bertahap badan-badan ini mendapat otonomi
yang semakin besar dan memisahkan dirinya dari masyarakat sekaligus
merepresentasikan kepentingan kelompok sosial utama. Otonomi ini dari pejabat
urusan publik berubah menjadi bentuk dominasi terhadap masyarakat yang
membentuknya, dulunya abdi publik sekarang para pejabat itu berubah menjadi
tuan-tuan (lords).
“Pada umumnya, perkembangan produksi sosial menuntut adanya
tenaga kerja manusia yang lebih banyak guna terlibat dalam produksi material.
Tidak ada komunitas yang sanggup mnyediakan hal itu sendiri, dan tenaga kerja
manusia tambahan disediakan oleh peperangan”
Cara lain pembentukan kelas adalah melalui pembudakan
terhadap bala tentara musuh yang tertangkap saat perang. Para peserta perang
mulai menyadari bahwa lebih bermanfaaat untuk membiarkan para tawanan mereka
terus hidup dan memaksa mereka unutuk bekerja. Jadi hak-hak mereka sebagai
manusia dicabut dan diperlakukan tak ubahnya seperti binatang pekerja.
Dalam perkembangan masyarakat selanjutnya, kita akan
mengenal kelas-kelas yang salingbbertentangan. Hal ini disebabkan karena
kepentingan mereka selalu tidak dapat diketemukan. Dalam terminologi marxis
kita akan mengenal bahwa kelas di bedakan menjadi dua macam bentuk dan sifatnya
yaitu kelas-kelas fundamental dan kelas-kelas non fundamental.
Kelas-kelas fundamental adalah kelas-kelas yang
keberadaannya ditentukan oleh corak produksi yang mendominasi dalam formasi
sosial ekonomi tertentu. Setiap formasi sosial ekonomi yang antagonistis
memilki dua kelas fundamental. Kelas-kelas ini bisa berupa pemilik budak dan
budak, tuan feudal dan hambanya, ataupaun borjuasi dan proletar.
Kontradiksi-kontradiksi antagonistis diantara kelas-kelas tersebut berubah oleh
penggantian sistem yang berlaku dengan sebuah sistem baru yang progresif.
Kelas-kelas non fundamental adalah bekas-bekas atau
sisa-sisa dari kelas dalam sistem yang lama dan masih bisa dilihat dalam sistem
yang baru, biasanya kelas ini menumbuhkan corak produksi yang baru dalam bentuk
struktur ekonomi yang spesifik. Sebagai contoh para pedagang, lintah darat,
petani-petani kecil yang terdapat dalam masyarakat kepemilikan budak dengan
kelas yang fundamental pemilik budak dan budak.
Kelas-kelas fundamental dan non fundamental saling
bergantung secara erat, karena dalam perkembangan sejarahnya, kelas fundamental
bisa menjadi non fundamental, dan demikian pula sebaliknya. Sebuah kels
fundamental merosot menjadi sebuah kelas non fundamental saaat corak produksi
yang dominan yang mendasarinya secara bertahap berubah menjadi sebuah struktur
sosial ekonomi yang sekunder. Sebuah kelas non fundamental menjadi fundamental
saat sebuah struktur sosial ekonomi baru yang terdapat di dalam sebuah formasi
sosial ekonomi berubah menjadi corak produksi yang dominan.
Masyarakat juga bisa memiliki lapisan orang-orang yang tidak
termasuk ke dalam kelas-kelas tertentu, yaitu elemen-elemen tak berkelas
yang telah kehilangan ikatan-ikatan dengan kelas asalnya. Hal ini berlaku bagi
lumpen-lumpen kapitalisme yang terdiri atas orang-orang tanpa pekerjaan
tertentu atau yang biasa disebut sebagai sampah-sampah masyarakat, seperti
pengemis, pelacur, pencuri dan sejenisnya.
Selain kelas, terdapat kelompok sosial besar lain yang garis
pembatasnya terletak pada latar yang berbeda dengan latar-latar pembagian
kelas, ia munkin saja didasrkan pada usia, jenis kelamin, ras, profesi,
kebangsaaan, dan pembeda lainnya.
Max Weber
Lahir di Jerman pada tahun 1864. Belajar ilmu hukum di
Universitas Berlin dan Universitas Heidelberg, selepas studinya ia bekerja
sebagai dosen ilmu hokum di Univesitas tempat ia belajar dulu. Selain mengajar
ia pun berperan sebagai konsulatan dan peneliti, dan semasa Perang Dunia I ia
mengabdi di angkatan bersenjata Jerman. Pada tahun 1889 ia menulis sebuah
disertasi yang berjudul A Contribution to the History of Medieval Buisness
Organization. Salah satu bukunya yang terkenal adalah The Protestant Ethic and
the Spirit of Capitalism. Dalam bukunya ini Weber menggambarkan hubungan antara
Etika Protestant dan Kapitalisme di Eropa Barat.
Max Weber termasuk diantara salah satu sosiolog yang tidak
sepakat dengan penggunaan dimensi ekonomi semata-mata untuk menentukan
stratifikasi sosial. Giddens dalam bukunya sociology menunjukan persamaan
antara Marx dan Weber:
“Like Marx, weber regarded society as characterized by
conflict over power and resources”
Sekaligus pebedaannya,
“Although Weber accepted Marx’s view that class is founded
on objectively given economic factors as important in class formation than were
recognized by Marx”
baik Marx maupun Weber keduanya melihat bahwasahnya kelas
adalah stratifikasi atas masyarakat berdasarkan dimensi ekonomi. Namun seperti
yang telah dikatakan sebelumnya bahwa Weber termasuk ilmuwan sosial yang
menolak penggunaan dimensi stratifikasi ekonomi semata-mata dalam menntukan
stratifikasi sosial masyarakat.
Menurut Weber , stratifikasi sosial tidak sesederhana
demikian hingga dapat dijelaskan lewat kelas, ia menambahkan dalam uraiannya
tentang kekuasaan dalam masyarakat bahwa pembedaan masyarakat dapat dilihat
melalui kelompok status, partai dan kelas.
Kelas menurut Weber adalah sejumlah orang yang mempunyai
persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib (life chances). Peluang
untuk hidup orang tersebut ditentukan oleh kepentingan ekonomi berupa
penguasaan atas barang serta kesempatan untuk memperoleh penghasilan dalam
pasaran komoditas atau pasaran kerja. Sebagai akibat dari dipunyainya persamaan
untuk menguasai barang dan jasa sehingga diperoleh penghasilan tertentu, mka
orang yang berada di kelas yang sama mempunyai persamaan yang dinamakan situasi
kelas.
Situasi kelas adalah persamaan dalam hal peluang untuk
menguasai persediaan barang, pengalaman hidup pribadi, atau cara hidup.
Kategori dasar untuk membedakan kelas ialah kekayaan yang dimilikinya, dan
faktor yang menciptakan kelas ialah kepentingan ekonomi, pada titik ini konsep
kelas Marx dan Weber adalah sama, yaitu pembedaan kelas dan faktor yang
mendorong terciptanya kelas.
Dimensi lain yang digunakan weber adalah ialah dimensi
kehormatan. Manusia dikelompokan dalam kelompok status. Kelompok status
merupakan orang yang berada dalam situasi status yang sama, dimana orang
yang peluang hidupnya ditentukan oleh ukuran kehormatan, coba lihat pembedaan
sultan dan abdi dalem yang ada di Yogyakarta. Persamaan kehormatan status
dinyatakan dalm persamaan gaya hidup. Dalam bidang pergaulan hal ini dapat
berupa pembatasan dalam pergaulan dengan orang yang statusnya lebih rendah.
Selain danya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status ditandai
oleh adanya hak istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun
material. Dalam hal gaya hidup, hal ini bisa kita lihat dari gaya konsumsi.
Disamping pembedaan lewat dimensi ekonomi dan kehormatan
Weber menambakan bahwa masyarakat juga dibeda-bedakan berdasarkan kekuasaan
yang dimilikinya. Kekuasaan menurut Weber adalah peluang bagi seseorang atau
sejumlah orang untuk mewujudkan keinginan mereka sendiri melalui suatu tindakan
komunal meskipun mengalami tentangan dari orang lain yang ikut serta dalam
tindakan komunal itu. Bentuk dari tindakan komunal ini adalah partai yang
diorientasikan pada diperolehnya kekuasaan.
Erik Olin Wright
Sosiolog dari Amerika ini telah membangun teori kelas
kombinasi dari pendekatan Marx dan Weber. Sulit rasanya untuk menulis tentang
ilmuan sosial yang satu ini, hal ini di sebabkan Wright sendiri tidak pernah
mendefinisikan kelas menurut dia sendiri, disamping buat saya adalah referensi
tentang pikirannya dalam bentuk buku masih jarang ditemui, beberapa bahan dapat
saya temukan lewat internet namun hal ini juga ternyata tidak cukup memuaskan.
Dari berbagai tulisannnya tentang sosiologi Erik Olin Wright dapat digolongkan
ke kelompok Neo Marxis. Tulisannya tentang kelas dapat banyak ditemukan di
Internet. Menurut Wright:
“According to Wright, there are three dimensions of control
economic recources in modern capitalist production, and these allow us to
identify the major classes which exist”.
- Control
over investments or money capital.
- Control
over the physically means of production (land or Factories and offices).
- Control
over labour power.
Ketiga point
diatas seluruhnya dikuasi oleh kelas kapitalis, sedangkan kelas pekerjanya
sendiri tidak menguasai satu pun dari tiga hal diatas. Padahal menurut Marx
bahwa point pertama dan kedua diatas dihasilkan dari point ketiga. Ironis
memang jika melihat hal demikian, bayangkan ada sekelompok orang yang telah
seharian bekerja keras namun hasil kerja tidak dapat ia nikmati sendiri.
Diantara dua kelas utama ini ada kelompok yang posisinya
ambigu menurut dia, sebut saja seprti yang dia contohkan yaitu para manajer dan
pekerja kerah putih atau para professional. Letak ambiguitas orang-orang ini
dalam sistem produksi adalah mereka mampu mempengaruhi beberapa aspek dari
produksi namun meraka tidak mampu menguasinya. Sama seperti para pekerja manual
mereka menjual tenaga mereka kepada kaum kapitalis lewat kontrak kerja namun
disatu sisi mereka mempunyai wewenang dalam perencanaan kerja atau kerja
mental.
Kita tentu masih ingat apa yang dikatakan Marx, bahwa diantara
kelas borjuis dan kelas proletar ada kelas yang dinamakan kelas borjuis kecil,
yang dalam perkembangannya akan jatuh kedalam barisan kaum proletariat
disebabkan karena mereka tidak mempunyai modal yang cukup besar dalam usahanya.
Dalam perjalanan kapitalisme besar tidaknya modal menentukan dalam usaha
mempertahankan produksi dan mendapatkan surplus guna memperbesar modal
produksi. Sistem monopoli dan persaingan bebas yang berlaku didalam kapitalisme
telah memaksa orang-orang yang seperti disebut oleh wright “contradictory class
locations” akhirnya habis dimakan oleh kapitalis-kapitalis besar.
Tentu ada sebab-sebab yang menjadikannya kelompok ini
muncul, yaitu keahlian dan kemampuan. Dalam konsep mobilitas sosial factor
pendidikan mainkan peranan yang cukup penting disini lewat pendidikan individu
yang berasal dari status rendah namun berpendidikan tinggi, dalam masyarakat
kapitalis yang membutuhkan para pekerja ahli misalnya manajer guna mengawasi
berjalannya sistem produksi. Kelas pekerja tidak mempunyai keahlian yang cukup
dalam hal manajemen ini karena cuma tenaga yang mereka punya. Itupun akan
digantikan oleh mesin-mesin sering dengan kemajuan teknologi. Tentu ada
aspek-aspek lain dari hal ini. Biasanya pekerja yang mempunyai keahlian dan
berpengalaman dalam bidang dapat memperoleh upah kerja diatas-rata yang
diterima oleh pekerja biasa. Kesempatan kerja pun terbuka lebih jauh dan lebar
dari kelompok ini akibat dari keahlian yang dimilikinya. Menurut Wright:
“ employees with knowledge and skills are more difficult to
monitor and control, employers are obliged to secure their loyalty and
cooperation by rewarding them accordingly”
Dimensi kekuasaan dalam sistem produksi dari kelompok ini
juga ikut memasukan konsepnya Weber dalam stratifikasi sosialnya Erik Olin
Wright. Pada hakekatnya sifat dari kelompok ini adalah oportunis dan pragmatis.
Berdasarkan pengalaman sehari-hari, menurut saya pendekatan
Marx dalam melakukan stratifikasi terhadap masyarakat dimana saya hidup cukup
relevan. Masyarakat di dalam negara dunia ketiga seperti Indonesia dimana
kesenjangan antara yang kaya dan yang dimiskinkan demikian lebarnya, pendekatan
Marx bisa menjelaskan apa yang saya alami sehari-hari.
Jaman yang sedang berlangsung ini adalah jaman kapitalisme
yang telah mencapai tahapnya yang tertinggi yaitu Imperialisme, dan sedang
berjalan menuju kehancurannya, seperti yang diyakini Marx dan para Marxis. Dua
kelas utama dalam masyarakat ini adalah borjuis dan proletar. Borjuasi terdiri
dari para pemilik properti pertanian dan industri besar yang hanya kerja di
perusahaanya, dan menikmati surplus dalam bentuk keuntungan yang didapatnya
dari hasil kerja para buruh upahan yang tetap tidak terbayar sesuai dengan
kebutuhannya di dalam jaman kapitalisme. Kelas yang berseberangan dengan
borjuis, yang di satu sisi merupakan prakondisi dari kemunculannya, dan disisi
lain adalah proletar, yaitu kelas yang harus menjual tenaganya kepada para
kapitalis sekedar untuk terus bertahan hidup.
Ketergantungan kelas ini terhadap para kapitalis cukup besar
dan hal ini diwujudkan dalam bentuk yang berbeda-beda. Seorang pekerja tidak
berhak atas alat produksi. Ia bergantung pada tenaganya sendiri dalam
kehidupan, dalam jaman ini tak seorangpun kecuali para kapitalis yang memiliki
alat produksi dapat membeli dan mempergunakan tenga kerja. Konsekuensi dari hal
ini adalah para pekerja terpaksa bekerja untuk para kapitalis tersebut. Borjuis
bergerak terus dalam perkembangannya yang sesuai dengan tahap-tahap
perkembangan ekonomi dari masyarakat kapitalis. Munculnya borjuis sebagai kelas
dihubungkan dengan jaman yang disebut akumulasi modal primitif. Indikasi dari
jaman ini adalah perampasan tanah dan instrumen kerja milik masyarakat luas,
melalui eleman terpentingnya yaitu perampasan barang-barang kolonial dan
ekspansionisme. Disaat semua syarat telah tersedia bagi mulainya sebuah
corak produksi kapitalis. Syarat-syarat itu termasuk telah hadirnya masssa
pekerja upahan independen dan konsentrasi kapital ditangan borjuasi.
Di Indonesia hal ini berlangsung dengan masuknya
kolonialisme Belanda. VOC sebagai serikat dagangnya waktu itu. Bentuk-bentuk
pengisapan yang dilakukan VOC waktu itu adalah leveratien dan contingenten.
Leverienten adalah sistem penyerahan hasil pertanian oleh para bupati pesisir
kepada VOC dalam jumlah yang ditentukan oleh VOC. Contingeten adalah sistem
jatah penyerahan hasil pertanian yang dikenakan pada bupati di pesisir Jawa
oleh VOC, dengan demikian kaum tani pada masa itu menderita dua macam
penindasan, dari raja-raja, dan dari VOC. Hal ini terus berjalan hingga sampai
ke masa imperialisme yang telah menimbulkan situasi baru di Indonesia.
Kemunculan pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan besar, pelabuhan-pelabuhan,
hingga perusahaan swasta membutuhkan tenaga kerja terdidik untuk melaksanakan
pekerjaan yang serba modern. Perubahan tanah-tanah pertanian yang kini telah
berubah menjadi kawasan tempat berdirinya berbagai fasilitas produksi.
Bersamaaan dengan terjadinya hal ini kelas pekerja pun muncul.
Perkembangan borjuasi dikaitkan dengan revolusi industri dan
kapitalisme pra monopoli sampai periode monopoli kapitalisme dan revolusi sains
dan teknologi. Awal abad ke 20 adalah tahu oligarki finansial timbul
kepermukaan. Sebagai akibat munculnya jutawan-jutawan, kebangkrutan banyak
pengusaha kecil dan menengah, konsentrasi modal dan produksi, inilah basis
ekonomi kapitalisme mulai masuk ketahapannya yang tertinggi yaitu Imperialisme.
Dalam Imperialisme, borjuasi cenderung secara terus-menerus mengecil jumlahnya
hal ini diakibatkan oleh persaingan bebas yang menjadi hukum dijaman
imperialisme ini. Konsekuensi logis dari hal ini adalah meningkatnya jumlah
kaum pekerja.
Proses pembentukan kelas pekerja di negara berkembang, yang
ekonominya seringkali merupakan kombinasi antara elemen kapitalis, foedal
bahkan patriarkal, merupakan proses yang rumit dan pelik. Hampir tidak ada
negara didunia ini dimana kapitalisme hadir dalm bentuk aslinya. Biasanya kelas
warisan dari sistem sosial ekonomi sebelumnya terus bertahan dan berdampingan
dengan kapitalis, khususnya sisa-sisa dari kelas feodal atau pemilik
tanah yang mendominasi terus bertahan di bebrapa negara bahkan dibawah
kapitalisme seperti di Indonesia dapat kita jumpai hubungan-hubungan itu
dibeberapa daerah misalnya Yogyakarta dan daerah Jawa lainnya.
Pada masyrakat kapitalis, terdapat beberapa strata kecil
yang terdiridari pemilik alat produksi kecil strata ini terbentuk dari petani
dan borjusi kecil perkotaaan. Namun dalam perkembangan selanjutnya strata ini
akan hancur jika relasi-relasi produksi akan menajam dalam
perkembangannya. Seperti yang dapat kita lihat didalam kondisi di Indonesia
dimana angka tenaga kerja yang terus meningkat tak pernah tercukupi oleh
lapangan pekerjaan yang tersedia. Negara yang merupakan alat dari kelas yang
berkuasa- di Indonesia adalah kelas kapitalis dan kaum komprador-telah
melegitimasi atas kondisi yang terjadi dan bahkan mengkondisikan hal ini demi
kepentingan kelas yang berkuasa.
Kemiskinan dan Eksklusi Sosial
Urbanisasi Sebagai salah satu implikasi dari pertumbuhan
penduduk menjadi, salah satu factor dari kemiskinan. Harapan akan hidup lebih
baik yang dibawa dari daerah asalnya ke tempatnya yang baru. Namun di tempatnya
yang baru harapanya ternyata tidak juga terpenuhi. Akhirnya ditempat baru ini
hanya kemiskinan dan hidup yang tak terjamin dengan penghasilan yang tidak
tetap dan dibawah standar guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hidup di daerah perkotaan seperti kota Jakarta ini tentu
biaya hidup yang dikeluarkan tidak murah, akhirnya orang hanya bisa berpikir
bagaimana caranya bertahan hidup dengan segala macam kebutuhan primer dan
sekundernya hari ini. Persoalan kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal
pun muncul sebgai masalah pertama untuk hidup diperkotaan. Baru-baru
penggusuran terhadap perumahan rakyat dilakukan oleh Pemerintahan Daerah
Jakarta. Ada baiknya kita mundur terlebih dahulu,beberapa tahun yang lalu World
Bank menyodorkan program tata kota yaitu “ city without slumps”, disamping
pemotongan subsidi publik seperti BBM, pendidikan, etc guna mendapatkan
pinjaman hutang luar negeri. Program ini segera direspon oleh Pemda Jakarta
dengan semangat juang yang tinggi. Akhir tahun 2001 pun dijadwalkan sebagai
waktunya pelaksanaan program ini, mulai dari penggarukan becak yang dianggap
sebagai biang keladi kemacetan di Jakarta dan kemudian disusul oleh penggusuran
perumahan rakyat yang dianggap kumuh. Umumnya masyarakat yang tinggal di
kawasan perumahan ini adalah masyarakat yang mempunyai status kemiskinan absolut menurut Giddens.
Program World Bank ini ternyata dipakai oleh Pemda Jakarta guna menghilangkan
perkampungan yang menurut mereka dari sanalah segala macam bentuk kriminalitas
itu timbul. Kemiskinan yang dialami penduduk kota ini telah mengakibatkan
dicabutnya hak mereka untuk bertempat tinggal di kota metropolitan ini oleh
negara dimana dalm kondisinya agar mendapat pinjaman diri negara luar, yang
padahal belum tentu pinjaman yang mengatasnamakan rakyat itu jatuh ketangan
rakyat, karena korupsi sudah sedemikian akutnya di pemerintahan negara ini.
Menurut saya penggusuran yang dilakukan ini merupakan salah
satu factor kemiskinan tetap ada di kota Jakarta ini. Dengan dicabutnya hak
asasi manusia untuk bertempat tinggal ini, warga kota Jakarta harus bekerja
berkali-kali lipat lagi untuk memenuhi kebutuhan primer yang satu ini, padahal
kehidupan sehari-hari kebutuhan primer yang lain belum tentu bisa tercukupi
oleh penghasilan yang didapatkan.
Namun bisa juga berlaku sebaliknya, bahwa kemiskinan yang
diderita orang-orang ini adalah karena ekslusi sosial dari negara dan kelas
dalam masyarakat. Seperti yang saya ketahui bahwa penyediaan kebutuhan publik,
seperti air minum, listrik, pendidikan, pekerjaan. Oleh negara tidak dilakukan,
bahkan pengakuan sebagai penduduk kota ini pun tidak diberikan kepada mereka. Akibat
dari hilangnya akses-akses seperti inilah yang juga menyebabkan kenapa
kemiskinan masih saja tetap ada bahkan cenderung ke arah pemerataan kemiskinan.
Pendapat saya mengenai stratifikasi sosial
Nyatanya kita diciptakan sebagai manusia yg hidup saling berdampingan,
saling membantu dan membutuhkan tanpa strata. karena dari awal kita semua
adalah sama di mata Allah SWT. tapi nyatanya stratifikasi sosial sangatlah
nyata keberadaannya di dalam kehidupan kita sehari-hari. ada penguasa (kelas
menengah ke atas), ada kelas menengah ke bawah, ada si miskin. tentu ini sangat
berbenturan dengan nilai-nilai yg di ada dalam kitab suci Al-Qur’an. apabila
kawan-kawan memperhatikan kehidupan di dunia, hanya ada satu tempat yg bebas
dari statifikasi sosial, yaitu Masjid. di masjid semua sama tanpa srata, imam
sujud ma’mum pun sujud. tak peduli sang imam lulusan sd dan presiden sebagai
ma’mum, semua tetap sama. tidak ada hal-hal yg mengandung unsur merusak di
dalam masjid, karena tidak ada strata, tidak seperti kehidupan di lingkungan
masyarakat umumyang penuh dengan kebohongan dan saling menjatuhkan. Jadi,
kesimpulannya adalah stratifikasi sosial terkadang terjadi begitu saja tanpa
disadari, setiap orang berbeda beda ada yang miskin ada yang berkecukupan, jika
semua disamaratakan itu tidak bisa. misalnya dalam penanganan pemerintah,
mereka harus membedakan perlakuan terhadap orang miskin dan orang cukup. tapi
itu semua dikembalikan kepada diri kita masing2 bagaimana menyikapi
stratifikasi itu sendiri
Sumber : Wikipedia indonesia